Mohon tunggu...
Adityo Eka
Adityo Eka Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gula-gula

4 Desember 2012   06:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:13 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah babak baru telah dimulai, cerita baru tentang gula-gula yang manisnya melebihi gula manapun yang pernah ada. Betul, gula tersebut adalah hiperbola, terlalu hiper bahkan, melebihi naskah asli dari rekam suara yang pernah ditulis. Manis sampai terlalu, sampai tak rela menghapus bekas terlalunya di bibir yang terlalu perasa ini. Adiksi berlebihan, sangat berlebihan sampai tak ada bercak prioritas yang dapat menutupi candunya. Aku menikmati nikmatnya dengan hikmad dan senikmat-nikmatnya.

Kolaborasi antara sepasang maya telah membuahkan gula-gula otak yang berkadar besar. Aku terkejut ketika pertama kali bersinggungan dengan si naskah gula. Manisnya sangat terlalu sekali lagi, jeruk pun rela tak menyesap kecutnya berhari-hari demi sesapan manis hasil sesap si gula-gula. Tetapi tunggu, ini bukanlah pesan picisan, persetan dengan manis gula-gula picisan karena hal tersebut tak lebih dari simbol-simbol berujung pamrih.

Ada banyak Louise dan Louisa di dunia ini, ada yang berpasang ada yang tidak, dan tak ada ikatan darah sama sekali. Anggap aku sebagai salah satu Louise yang sedang mengamati salah satu Louisa, masa bodoh jikalau ternyata dia sudah berpasang dengan Louise lainnya. Louisa tersebut memiliki jurnal harian yang menarik simpati. Puluhan hari aku ikuti alurnya sampai akhirnya aku putuskan untuk melanggar etika, kusentuh jurnal itu dengan komentar-komentar pujian, berujung lagi sampai berjabat tangan.

Jabat tangan adalah kode untuk membuka pintu lebar-lebar, tetapi pintu baru terbuka sedikit. Aku paksakan pergelangan tanganku memasuki celahnya, lalu kuraba sedikit demi sedikit ruangnya, dan sebentuk naskah yang hanya secuil berhasil kugenggam. Kutarik cepat tanganku lalu naskah kumasukkan ke dalam saku celana.

Sesampainya di sarang, kuambil secuil kusut naskah Louisa dari saku. Aku rapikan kembali kertasnya, dan mulai kubaca-baca isinya. Di luar dugaan isinya membiusku, selembar yang mengandung curah kuning bunga, rumput hijau dan biru langit. Aku tergoda, mungkinkah dia pengada dari pengharapan yang aku inginkan? Hahaha… Lelucon… Maaf, baru saja aku melucu, tak ada jawabannya, aku pun tak mau bermonolog dalam menjawabnya.

Tetapi aku belum terapsodi, secuil naskah itu masih berbentuk puzzle. Memang aku terbius, bius yang membuatku tenggelam dalam kembara angan yang penuh dengan hasrat. Hasrat untuk melengkapi, “Hei Louisa, aku sudi merapikan puzzle itu!”, agar rumputnya tak lagi absurd, langitnya dihiasi aurora, dan bunganya tak sebatas rekahan kuning tetapi juga merah muda.

Lalu… menanti satu dua tiga dan seterusnya hitungan hari, Louisa mulai menangkap pesan yang aku isyaratkan. Dia kembali membuka pintu, kali ini agak lebar hingga sebagian dari tubuhku dapat menyelinap masuk. Dengan setengah tubuhku aku mulai melakukan penawaran langsung kepada Louisa, tentang kapan aku bisa mendonorkan pikiran untuk merapikan puzzle itu. “Tak usah, puzzle itu sudah cukup meriah dengan carut-marutnya.” tegas Louisa. Kemudian aku beri tawaran baru, kuajak dia untuk berkolaborasi dalam melukiskan sesuatu yang baru, dan benar saja dia setuju.

Kami, aku dan Louisa, mulai menyatukan pikiran demi kertas-kertas kosong yang berserak di lantai. Aku ambil pensil lengkap dengan serutannya, dan Louisa mulai asyik mensketsakan sebuah tema yang telah kami musyawarahkan sebelumnya. Louisa mengirim sketsa pertamanya, kubalas pula dengan sketsa yang hampir sama. Terus menerus hingga memakan waktu satu purnama, hasilnya belasan sketsa berhasil kami kerjakan. Setelahnya, kami berdua pula yang menjadi kurator dari buah pikir kami. Menyenangkan.

Tak disangka, setelah disusun sedemikian rupa sketsa-sketsa itu memang saling berhubungan, dan alurnya layak menjadi satu cerita. Kami sepakat menamai kumpulan itu dengan sebutan malam. Ya malam, kami mensketsakan malam, jurnal malam, kehidupan malam, semua-mua tentang gambaran gelap, dan inilah yang aku sebut sebagai gula-gula. Sebuah kolaborasi dalam menjelajahi malam lewat goresan pensil yang hasilnya ternyata begitu manis, sangat hingga terlalu.

Gula-gula yang telah kusebut sebagai adiksi, selalu muncul hasrat untuk mengulanginya lagi karena manisnya selalu mendominasi ruang pikiran. Sekali lagi, ini bukan picisan karena masih banyak gula-gula lagi yang masih perlu diproduksi, dan seandainya pun suatu hari nanti akan muncul benih-benihnya, aku harus berkaca pada setengah tubuhku yang lain untuk menimbang.

Tentang gula-gula, dan mereka sangat manis, sekali…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun