Mohon tunggu...
Kelvin
Kelvin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Write About Fintech Update

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hustle Culture: Budaya Kerja Buru-Buru ala Anak Muda Startup

10 November 2021   23:13 Diperbarui: 10 November 2021   23:22 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Energepic di Pexels 

Kerja di startup itu banyak suka duka serta lika-likunya. Sukanya ya banyak tantangan dan hal baru yang bisa dipelajari setiap hari, pengalaman berharga dalam dunia kerja istilahnya.

Lika-likunya ya karena banyak tantangan baru silih berganti, maka adaptasi yang sangat fleksibel pun dibutuhkan.

Namun, dukanya pun tidak kalah besarnya. Salah satu harga yang harus dibayar untuk bekerja di startup adalah tumbuhnya kebiasaan kerja yang serba cepat, yang kadang cepatnya keterlaluan.

Tantangan dan kadang tuntutan kerja yang begitu tinggi dan cepat bertambah ini seringkali melahirkan fenomena kerja buru-buru, dan cenderung minim istirahat. Hal ini disebut dengan istilah hustle culture.

Pengidap dan penyintas hustle culture sendiri umumnya ialah generasi pekerja muda, yang kini didominasi oleh milenial dan gen Z.

Apa sih sebenarnya penyebab hustle culture dan akibatnya apa ke individu serta perusahaan? Bagaimana cara perusahaan mengatasi fenomena serupa? Mari kita bahas.

Penyebab hustle culture

Hustle culture sendiri disebabkan oleh banyak hal yang berasal dari faktor yang beragam pula. Bisa dibilang sangat kompleks sih. Dan, uniknya, penyebab hustle culture ini jarang sekali lahir dari kemauan dan kesadaran individu itu sendiri.

Jika dilihat dari faktor terbesar, yakni peradaban manusia, hustle culture dipicu kemajuan teknologi yang pesat, seperti teknologi pendukung pekerjaan dan komunikasi. Pasalnya, hadirnya teknologi yang memudahkan pekerjaan justru menjadi ironi. Kerja yang harusnya jadi lebih mudah malah menjadi lebih mengundang stress karena tuntutan kerja yang diberikan jadi lebih banyak.

Teknologi komunikasi pun sama. Yang awalnya komunikasi sangat terbatas, saat ini komunikasi dengan siapapun dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, serba mudah. Kemudahan ini juga yang menyebabkan komunikasi kerja bisa kapan saja dan tak kenal waktu, tidak seperti dulu. Hal inilah yang mulai membuat batasan jam kerja dan di luar kerja menjadi kabur.

Lalu, dari faktor perusahaan pun sama. Dikarenakan dewasa ini semakin banyak perusahaan-perusahaan baru bermunculan, akibatnya kompetisi pun menjadi semakin ketat. Siapa yang berani mengeluarkan usaha lebih untuk meningkatkan performa akan lebih mudah berada di klasemen atas kompetisi pula. Namun, jatuhnya, usaha yang diminta perusahaan dan dikeluarkan pekerja cenderung berlebih.

Dari faktor pergaulan sebaya pun sama. Dewasa ini, komparasi pencapaian dan kesuksesan antar individu banyak terjadi meskipun tidak terang-terangan. Unggah di media sosial, contohnya, yang alih-alih berbau motivasional, justru turut berkontribusi membangun standar sosial atas kesuksesan masa muda yang toxic. Akibatnya, banyak muda-mudi berlomba-lomba untuk mengejar kesuksesan yang tidak sehat secara hasil dan proses.

Akibat hustle culture

Hustle culture sendiri tidak hanya berakibat buruk pada pekerja, namun juga perusahaan yang menaunginya. Dan mungkin pada orang-orang yang dekat dengan pekerja itu pula seperti keluarga dan kerabatnya.

Dari sisi internal pekerja sendiri, hustle culture memicu lahirnya kebiasaan tergesa-gesa pula pada hal di luar kerja. Selain itu, hal ini juga berdampak pada kesehatan fisik, mental, dan jiwa. Pun, pada aspek keuangan, hustle culture ternyata memicu overspending, di mana pekerja yang stress kerja justru mencari pelarian yang membutuhkan biaya tak sedikit.

Bagi perusahaan, ternyata hustle culture juga kontraproduktif. Alih-alih membuat perusahaan memiliki performa yang makin baik, hal ini justru memberikan hasil yang sebaliknya karena performa pekerja yang cenderung turun ketika stress. Dan lagi, sekalipun performa perusahaan naik, kenaikan tersebut tidak akan bertahan lama dan cenderung sangat fluktuatif. Yang mana buruk bagi perusahaan.

Bagi orang yang dekat dengan pekerja itu pun juga sama. Hubungan interpersonal dan ikatan emosional dengan individu yang terjerumus dalam hustle culture pun lebih cepat pudar. Sebagai contoh, dalam keluarga, hal ini akan sangat berbahaya karena menghilangkan esensi kehangatan dan keharmonisan sebuah keluarga. Pun menyita quality time pula.

Solusi dari perusahaan untuk menanggulangi hustle culture

Berbagai perusahaan mulai sadar akan eksistensi dan bahaya yang dimiliki hustle culture. Tidak hanya korporat, namun juga startup.

Salah satu solusi yang diberikan, seperti pada startup SPE Solution, ialah adanya beragam fun activities di kantor yang tidak melulu berkaitan dengan dunia kerja. Bisa soal hobi atau seni pertunjukan. Tujuannya agar pekerja mendapatkan ruang bernafas setelah lelah bekerja di kantor.

Solusi lainnya adalah adanya sesi konseling yang diberikan tiap perusahaan. Bisa dari tim HRD, asuransi, maupun program kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa kesehatan mental untuk perusahaan.

Tujuannya sama, untuk membuat lingkungan kerja menjadi lebih sehat. Perusahaannya bisa berjaya, pekerjanya bisa berbahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun