Audit adalah pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang disusun oleh manajemen, catatan akuntansi, dan bukti pendukung, dalam rangka memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan (Agoes, 2012: 3). Sejalan dengan Agoes, sebagian besar ahli mendefinisikan audit sebagai proses yang berkaitan erat dengan laporan keuangan. Namun, Power dalam bukunya, The Audit Society (1997), memberikan pandangan yang berbeda mengenai audit. Power memandang audit sebagai suatu standardisasi dari pemeriksaan dan pembuktian pada tiap hal---tak hanya laporan keuangan---yang membutuhkan accountability dan quality assurance. Ia menekankan pada fakta bahwa accountability dan quality assurance telah menjadi general sense dari suatu komunitas, yang ia sebut sebagai the audit society.
Kecenderungan ini membuat kata "audit" mulai diaplikasikan dalam konteks yang begitu luas di Inggris sejak awal tahun 1990. Praktik environmental audit, value for money audit, management audit, forensic audit, intellectual property audit, medical audit, technology audit, hingga teaching audit bermunculan. Tren audit ini terjadi bersamaan dengan reformasi demokrasi Inggris sepanjang tahun 1990-an, yang kemudian melahirkan istilah baru, yaitu democratic auditing.
Studi democratic auditing diprakarsai oleh David Beetham dan Stuart Weir dalam buku mereka Political Power and Democratic Control in Britain: The Democratic Audit of the United Kingdom (1999). Studi ini sebagai wujud usaha Beetham dan Weir dalam menjawab isu defisitnya demokrasi Uni Eropa, salah satunya ialah kontroversi pemilihan presiden Komisi Eropa sebagai badan eksekutif Uni Eropa yang dilakukan oleh Parlemen Eropa, bukan secara langsung oleh warga negara Eropa (Vesnic-Alujevic, 2012). Sejak saat itu, democratic auditing menjadi benchmark dalam democracy assessment. Kriteria seperti keterbukaan dan responsivitas pemerintah beserta hubungannya dengan publik mulai diperhitungkan, sehingga democracy assessment tidak hanya dititikberatkan pada fase politik elektoral---pemilihan umum oleh masyarakat terhadap wakilnya di parlemen atau kepala pemerintahan---seperti yang dituliskan dalam Polyarchy (Dahl, 1971). Hal ini membuat democratic auditing mulai digunakan juga oleh negara-negara yang memiliki sistem politik yang begitu berbeda dari Inggris, seperti Bangladesh, El Salvador, Italia, Kenya, Malawi, Selandia Baru dan Korea Selatan (Beetham, 2002).
Nyatanya, hingga tahun 2018, Democracy Index oleh Economist Intelligence Unit (EIU) masih menjadi acuan democracy assessment mayoritas negara, dikarenakan metodenya yang cenderung lebih mudah. Democracy Index diukur dengan meminta para ahli untuk menilai enam puluh pertanyaan seputar proses elektoral, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik dalam suatu negara. Namun, kritik akan rendahnya akuntabilitas dan transparansi dari Democracy Index ini muncul dari beberapa negara, mulai dari anonimitas para ahli, alasan jelas turunnya nilai demokrasi Amerika Serikat dari full democracy menjadi flawed democracy, hingga Bolivia dinilai memiliki hybrid regime---negara dengan penyimpangan pada pemilihan umumnya, menjadi sedikit contoh dari banyaknya kritik yang diberikan.
Kritik-kritik tersebut kemudian memicu perkembangan studi dan pengaplikasian democracy audit oleh banyak negara dan badan independen lainnya. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Center for the Study of Democracy bersama dengan Institute for Governmental Studies mengenai konsep democracy audit sebagai standar penilaian bagi demokrasi kontemporer. Konsep tersebut hampir menyerupai democratic auditing milik Beetham dan Weir, yang mengecam penilaian demokrasi yang pada fase politik elektoral saja, dengan menciptakan standardisasi demokrasi yang lebih komprehensif dan inklusif. Democracy audit membawa konsep "no single democracy score"---penilaian bukan berupa indeks angka, melainkan opini kualitatif mengenai demokrasi keseluruhan dari suatu negara, sebagai hasil pengauditan berbagai elemen-elemen demokrasi. Konsep ini mulai dikembangkan pula oleh berbagai negara, seperti Amerika Serikat (University of Maryland), Australia (Australian National University's Research School of Social Sciences), Kanada (Centre for Canadian Studies), hingga Swedia (Swedish Center for Business and Policy Studies).
Democracy Audit sebagai Democracy Assessment yang Universal
Pada dasarnya, demokrasi yang ideal menjamin kesetaraan dan kebebasan. Namun, setiap negara memiliki aspek kesetaraan dan kebebasan yang secara spesifik mereka inginkan. Negara-negara di Asia Selatan mengharapkan kesetaraan pendapatan dan kebebasan berserikat melalui demokrasi. Sementara di Eropa Barat, kebebasan berpolitik dan produk hukum menjadi hal yang paling dicari dalam demokrasi (Democratic Audit, 2013). Demokrasi yang subjektif ini mengharuskan proses democracy assessment hanya dilakukan oleh warga negara dari negara yang dinilai. Subjektivitas ini juga mengakibatkan masih perlu adanya kriteria tambahan dalam democracy assessment masing-masing negara, sebagai komplemen dari kriteria universal yang ada---aspek partisipasi, otorisasi, representasi, akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan solidaritas. Dalam perkembangannya, diharapkan democracy audit mampu menjadi universal tool yang seluruh kriterianya dapat diterapkan oleh setiap negara. Produk akhir yang berusaha dicapai dari democracy audit adalah pemahaman mengenai:
- Ekspektasi dan evaluasi warga negara terhadap proses demokrasi,
- Partisipasi warga negara yang efektif, namun setara,
- Representasi politik dari kepentingan mayoritas dan minoritas,
- Peran partai dan kelompok advokasi dalam pemerintahan yang demokratis,
- Transparansi dan akuntabilitas dari institusi pemerintahan,
- Tanggung jawab politik dalam sistem pemerintahan.
Â
Standardisasi untuk Ucapan "Demokrasi Kita Sudah Mati"
Pembuatan sebuah standar yang tepat merupakan proses yang sulit, dibuktikan dengan berbagai kajian yang berusaha dilakukan para ahli dalam proses pengembangan democracy audit. Konsep democracy audit yang belum sempurna ini masih sulit untuk diaplikasikan secara universal, termasuk di Indonesia. Tornquist, dalam artikelnya "Assessing Democracy from Below: A Framework and Indonesian Pilot Study" (2006), menyebutkan bahwa selain karena konsep democracy audit yang belum matang, mudanya umur demokrasi Indonesia---lahir pada tahun 1998---juga menyulitkan pengaplikasian dari democracy audit. Hal ini dikarenakan demokrasi Indonesia masih cenderung berpusat pada demokrasi kalangan elit dan assessment menjadi tidak inklusif---yang Tornquist sebut sebagai the elitist model of democracy.