Oleh: MH Said Abdullah
Anggota DPR, Penikmat Wayang
Dalang, saat mengawali cerita, seringkali memulai dengan narasi bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap, dan seterusnya. Mukaddimah itu penting, bukan saja bagi para dalang, tetapi bagi siapapun agar lakon di babak berikutnya bisa sampai pada yang dituju; kesepahaman tentang sesuatu dan mengapa sesuatu itu menjadi sesuatu yang lain, sesuatu banget, meminjam istilah, Syahrini.
Penyelenggaraan negara dalam kuasa, adakalanya berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Ada pula yang tidak sepenuhnya berlangsung sebagaimana yang dikehendaki. Diinginkan, pada satu sisi dan tidak dikehendaki pada sisi yang lain, tentu ini sunnatullah-kekuasaan, mungkin itu bagian dari keseimbangan. Jika semua sesuai dengan irama, maka keberadaan Sang Hyang Widi, Tuhan, berpotensi dilupakan. Tetapi, tidak fair juga apabila Tuhan hanya diingat apabila yang diinginkan tidak sesuai dengan ekspektasi. Cobalah mengerti, kira-kira, begitulah Ariel menyanyi.
Urusan kemengertian inilah yang terdapat dalam wayang sebagaimana Petruk dalam punakawan. Petruk, salah satu tokoh di dunia pewayangan (Jawa). Petruk, biasanya, tidak sendiri, tetapi ditemani Gareng, Bagong dan Semar. Mereka, Punakawan, yang terdiri atas kata puna yang berarti paham dan kawan yang berarti teman. Dalam perwayangan, punakawan diidentikkan dengan sosok yang mengabdi pada pandawa, lima anak Pandu Dewanata, Raja di Hastinapura
Sosok punakawan sesungguhnya tidak ada dalam wayang versi India (Mahabarata). Punakawan hadir bagian dari pribumisasi wayang India menjadi versi Jawa. Begitulah kekuatan kultural nusantara, selalu memiliki energi osmosis untuk melarutkan berbagai budaya yang datang dari luar, tidak ditelan mentah mentah.
Sosok punakawan dianggap sebagai batur (abdi pandawa), namun perannya justru tukang ngemong pandawa yang digambarkan lima kesatrian nan gagah dan sakti, sementara punakawan pribadi yang fisik tidak rupawan, namun punya kemampuan mengalahkan pandawa bila harus beradu kesaktian. Hadirnya panawakan dalam lanskap pewayangan ini menjelaskan, eksistensi Jawa tidak luruh bahkan ditengah tak terbendungnya "teather mahabarata" kala itu.
Bagaimana sesungguhnya sosok Punakawan Petruk? Ia memang sosok yang lucu, nan humoris. Ia tidak hanya sekedar menjadi abdi atau suruhan raja yang menebarkan kejenakaan, mencairkan suasana, dan memahami yang sedang menimpa raja. Namun dari kejenakaan dan kelucuaannya terselip kata kata bijak, yang menenangkan hati pendawa.
Ingat cerita Petruk jadi raja? Saat memegang jamus kalisada, jimat sakti mandraguna, mampu merubah Petruk menjadi raja, dan meluruskan jalannya negara yang melenceng. Petruk sesaat jadi ratu adil. Tugasnya hanya sementara, memperbaiki jalannya bernegara, lantas dia kembali menjadi abdi kerajaan.
Petruk tidak mikir uang pensiun, apalagi menunda pemilu dengan terus membawa jamus kalimasada agar kekuasaanya makin lama. Petruk merasa lebih senang menjadi punakawan, ngemong pendawa ketimbang raja. Anda bisa bayangkan Petruk yang tengil naik Mobil Mercy S Class, bagian dari pensiunan mantan raja? Petruk terpikir ia tidak sanggup menerima bullying dari Bagong dan Gareng jika harus naik Mercy S Class. Pasti jadi tekanan batin bertubi tubi buatnya.
Selain punakawan, diantara para narasi kesatatria, ada figur pendampingnya, yakni Dewi Sinta yang mengembala rasa dan setia. Bukti kesetiaannya, saat suaminya harus meninggalkan istana dan tinggal di hutan karena menjalani masa pembuangan, Sinta memilih untuk meninggalkan kemewahan istana demi mengikuti suami yang hidup sengsara di tengah hutan. Padahal Sinta adalah anak seorang raja, ia bisa saja tetap tinggal di istana dan menceraikan suaminya.
Di tengah kesetiaan Sinta kepada Rama, bahkan muncul gosip bahwa Sinta berselingkuh dengan Rahwana. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa Sinta tetaplah setia dan karena itu ia mengalienasi diri demi keutuhan Kerajaan Ayodya, ia menumbalkan dirinya demi keutuhan Ayodya. Demi negara, demi suami tercinta, pada malam hari dia menyelinap ke luar, pergi dari istana. Hingga di akhir riwayatnya, Sinta muksa ditelan bumi saat akan boyong kembali ke Istana Ayodya.
Dewi Sinta, seorang puteri raja, rela mengorbankan diri demi negara, demi harkatnya sebagai wanita setia. Ironisnya kini banyak pejabat diperiksa oleh penegak hukum karena ulah sang isteri, tampil tidak sepatutnya, keranjingan flexing, seolah "aku tidak ada kalau tidak flexing".
Maka berhati hatilah, suami atau isteri terhadap pasangannya yang keranjingan flexing dan banyak permintaan bendawi, suruhlah membaca kisah Dewi Sinta kepadanya Kitab Ramayana yang berisi 24.000 sloka (ayat) sebagai uji kesetiaan tingkat pertama.
Dari Petruk dan Dewi Sinta kita belajar, mereka adalah orang orang berjiwa besar, bukan karena asal usulnya, tetapi karena jati dirinya yang paripurna. Orang dengan jabatan besar tidak senantiasa berjiwa besar. Jiwa besar hanya bisa dibentuk melalui lelaku, bukan karena predikat dari jabatannya. []