Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pajak dan Labirin Korupsi

28 Oktober 2016   23:06 Diperbarui: 28 Oktober 2016   23:27 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti air bah yang meluap hingga membanjiri apapun di sekitarnya tanpa kecuali. Seperti itu lah semangat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mencapai target penerimaan. Tapi arus semangat itu bertabrakan sempurna dengan tingginya angka korupsi. Sehingga sejak lama negeri ini terperangkap dalam rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Ahmed Riahi-Belkaoui (2003) jauh-jauh hari sudah memperingatkan kita soal itu, penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan pajak suatu negeri berbanding lurus dengan tingkat pengendalian korupsi di negeri itu. Tapi tampaknya Indonesia belum terlalu mengindahkan peringatan empirik itu. Fakta bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (2005-2014), rata-rata rasio pajak (tax revenue/gross domestic product) negeri ini tertahan stagnan di kisaran 10,4% (dengan tren menurun) seolah mengamini dugaan itu.

Ketika awal tahun 2016 lembaga Transparancy Internartional(TI) merilis indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index/CPI), tercatat Indonesia menempati peringkat 88 dari 168 negara dengan skor 36 dari skor maksimal 100. Adapun skor CPI rata-rata negara di dunia adalah 43. Oleh sebab itu dapat ditarik informasi bahwa perilaku koruptif di Indonesia dipersepsikan masih jamak menjangkiti aspek kehidupan baik itu aspek publik, administrasi pemerintahan, dan politik. Pajak sendiri adalah satu aspek yang tidak bisa lepas dari ketiga aspek tersebut. Sehingga persepsi buruk atas ketiga hal itu pada gilirannya menyebabkan buruknya citra pajak di mata masyarakat. Pemerintah dianggap tidak amanah dalam menyalurkan uang hasil pajak. Pajak tidak diapresiasi. Sebagian lalu lekas menjadikannya justifikasi untuk lari dan menghindar semampunya.

Korupsi yang menggerogoti semangat ini juga telah membuat DJP tak mampu berinovasi. Ketika bisnis terus berkembang, seharusnya pajak yang didulang negara juga bertambah. Tetapi saat data tentang Tax Buoyancy (∆Tax Revenue Growth/∆GDP) dalam satu dekade terakhir (2005-2014) menyajikan angka rata-rata 2,75 dengan pola menurun sejak tahun 2011, pesan yang hendak disampaikan sudah sangat jelas bahwa DJP tidak memiiliki kemampuan mengikuti pesatnya geliat bisnis yang signifikan. Bisnis belum memandang kepatuhan terhadap pajak sebagai bentuk dari kontribusi dalam pembangunan. Persepsi korupsi yang dinilai masih membelit proses administrasi perpajakan (sebagai bagian dari administrasi pemerintahan dan publik) makin meneguhkan pandangan itu. Belum jika kita membawa serta isu kapasitas kelembagaan yang tradisional.

Disini pekerjaan rumah terbesar pemerintah kini dan nanti. Memperbaiki sistem dan membangun kepercayaan dari masyarakat. Mereka harus dilindungi dari perilaku korupsi yang dapat bersemayam sebagai persepsi buruk secara turun temurun dalam ingatan. Ini penting agar resistensi terhadap pajak, sebagaimana disebut oleh M. Peter van der Hoek (2007), tidak menghalangi tax effortsmenuju tax capacityyang optimum. Masyarakat para pelaku bisnis pada dasarnya mendamba proses administrasi publik/pemerintahan yang efisien dan sarat kepastian agar mereka dapat menjalankan bisnis untuk kelangsungan usaha dan terhindar dari kebangkrutan (McGee & Yoon, 2008). Partisipasi fiskal berupa pembayaran pajak menjadi tidak terhindarkan jika dilihat dari perspektif ini. Sebab baik masyarakat maupun pemerintah keduanya saling membutuhkan.

Korupsi barangkali memang sudah mengakar dan membelit secara sempurna sebagai bagian integral sistem di negeri ini. Namun tuntutan akan pembangunan jelas tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian. Demi peningkatan daya saing dan eskalasi kualitas hidup masyarakat, maka pembangunan harus diutamakan dengan secara konsisten berupaya mencabut korupsi perlahan hingga ke akarnya. Dan tentu saja adalah kenihilan berbicara pembangunan tanpa menyinggung pajak. Pajak adalah jantung keberlangsungan pembangunan. Tidak akan ada gairah pembangunan tanpa gelora semangat DJP dalam mengumpulkan uang pajak. Tak masalah bila kini semangat itu terbentur lakon massif korupsi. Sebab itu teguran yang membuat kita memperbaiki diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun