Humaniora  |  Bukan Tambang Emas atau Jalan Tol, Ini Modal Sejati untuk Membangun Indonesia
DikToko
(Soetiyastoko)
Judul di atas beraura provokatif, dengan keras menyanggah narasi umum, tentang modal penting dan utama --dalam upaya pembangunan sebuah negara. Ini keyakinan yang menjanjikan perspektif yang berbeda.
Singapura, Taiwan dan Jepang adalah contoh nyatanya. Tumpuan kemajuannya pada kualitas umum setiap warganya.
***
Di suatu pagi yang sunyi, ketika embun masih menggantung pada dedaunan, ada seorang lelaki tua yang duduk di tepi sungai. Setiap hari, ia melipat kertas-kertas kecil menjadi perahu, lalu melepaskannya ke air. Seorang anak bertanya, "Untuk apa Kakek melakukan ini, Kek?" Lelaki itu tersenyum. "Sungai ini mengalir ke desa-desa lain. Mungkin seseorang akan menemukan perahu ini dan tersenyum. Itu sudah cukup."
Perahu-perahu kecil itu adalah metafora dari setiap kebaikan yang kita tabur. Ia tak selalu besar, tak selalu dramatis. Tetapi seperti riak di air, ia menyebar, menyentuh tepian yang jauh, menyapa kehidupan yang bahkan tidak kita kenal.
Kebaikan adalah bahasa universal yang ditulis dengan tinta yang sama oleh setiap hati---yang kadang lupa bahwa ia punya kekuatan untuk mengubah tidak hanya dunia orang lain, tetapi juga dunianya sendiri.
***
Setiap kali kita memilih untuk berbaik hati, sesungguhnya kita sedang melepaskan sejenis cahaya ke dalam diri sendiri.
Ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai endorfin---senyawa kebahagiaan yang mengalir lembut dalam darah, meredakan kegelisahan, dan membasuh luka-luka kecil di jiwa.
Itu adalah hadiah pertama yang kita terima: kesejahteraan mental yang tumbuh dari dalam, seperti bunga yang mekar di tengah taman yang diam.
Dan ketika kita berjalan dengan cahaya itu, orang lain pun merasakan kehangatannya. Hubungan yang baik tidak dibangun dari gemerlap materi atau kata-kata cerdas nan pandai, tetapi dari kesederhanaan perhatian yang tulus.