Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zikir Cinta di Rumah Pelacur

31 Oktober 2009   18:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jangan marahi langit yang angkuh dengan warna hitamnya, mungkin ia ingin memberimu ribuan tetes air setelah melihatmu nyaris mati oleh kering. Sebab langit juga sedang bicara cinta walau dengan bahasa hitamnya

Aku melihat Marx sedang memegang sekerat roti, ia tidak menelannya. Hanya dimainkan ditangan yang kulihat gemetar."Aku sedang tak ingin kau ajak berdiskusi. Aku sudah bosan untuk mengenal diskusi. Akupun sedang tidak tertarik untuk mendengar puisi-puisimu. Kau tahu, seribu kebenaran yang akan kau coba gali, hanya mematahkan pacul harapanmu sebelum satu kebenaran tergali. Maka aku memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri." Aku melupakan tatakrama dan beranjak pergi. Aku bertemu al-Ghazali, figur yang kukenal sangat mencintai Filsafat. Tetapi kemudian membunuh kekasihnya itu, lalu memilih untuk mengawini Tasawuf. Kuperhatikan ia sedang mereguk tinta yang ia tuangkan sebelumnya di botol-botol bir."Kau tahu, banyak dari mereka mengira aku hanyalah pemabuk. Padahal, cinta itu selalu hanya ada untuk para pemabuk. Yang rela mereguk pengetahuan hingga ia pingsan. Setelah tersadar dari pingsan mereka akan bermetamorfosis sebagai kekasih Tuhan. Mereka akan memilih untuk telanjang. Para pemabuk sepertiku, hanya bergerak untuk dan atas nama cinta. Baik, aku ingin mengajakmu menyambangi Cleopatra, mari." Ajaknya dengan irama yang begitu menyejukkan. Aku merasa suaranya jauh lebih merdu dari suara gadis muda yang baru tumbuh dewasa. "Sebentar, aku urungkan kesana. Aku hampir lupa, minumanku belum habis kureguk. Kau saja berangkat kesana. Nanti, kau akan temui Rumi ditempat itu." Orangtua aneh, kupikir."Pergi saja kesana, kau tidak boleh puas hanya mengayunkan satu langkah. Kebenaran itu hanya bisa ditemui, setelah kau izinkan dirimu untuk lelah dengan tetap ayunkan kakimu beribu-ribu mil perjalanan. Kehormatan itu ada dalam pengetahuan. Cinta juga akan dikenal oleh mereka yang mau mabuk sepertiku. Bila hanya kau menenggak tinta-tinta beberapa gelas saja, kau malah akan gila dengan sebenar gila. Jangan kau biarkan langkah terhenti hanya karena lelah. Pemburu cinta, ksatria yang ingin bertempur di medan pengetahuan. Mereka paham sekali, bahwa mereka tidak terlahir untuk bunuh diri dengan ketidakmampuan mereka untuk terus berjalan. Pergilah" Ia merengkuh kepalaku, diciumnya dahiku. Seakan, aku merasa terbawa ke masa kecil ketika kecupan Bapakku sering menghinggapi dahiku."Baik, aku pergi kesana. Aku tidak akan berlari terlalu kencang. Kukira dengan berjalan saja aku bisa lebih puas melihat pepohonan hijau sepanjang jalan ini." "Iya, pergilah." Ulangnya Perjalanan ini kulakukan dengan kaki telanjang, dari senja kemarin aku sudah katakan pada diri sendiri. Walau hanya sandal jepit, itu hanya membuatku mati rasa dari belai cinta yang diberikan bumi. Aku tiba disebuah rumah besar. Kucoba yakinkan diri, inilah rumah Cleopatra yang dimaksudkan tadi. Terlihat seorang lelaki dengan jubah Sufi sedang berdiri di pintu rumah itu. Aku memperhatikan ia seperti sedang berbicara sendiri. Beberapa saat kemudian, ketika kakiku sudah hampir tiba didepannya. Ia justru beranjak kedalam. "membingungkan" Keluhku. Ruangan yang ada rumah ini juga membuat heranku kian bergunung. Beberapa sudut, kutemukan kursi-kursi berukir indah dengan sandaran lengan yang mirip bentuk kepala ular. Sedang di sebuah sudut, aku melihat Rumi. Ia sedang menatap wajahku dengan ulas senyum yang terasa begitu lembut. Tubuhnya duduk saja bersila dilantai yang begitu penuh debu,"kebenaran itu berasal dari debu. Debu-debu ini akan mewujud sebagai cinta, sebagian akan tercipta sebagai kebenaran itu sendiri. Kebenaran dan cinta itu takkan pernah terpisah. Namun, percayalah cinta sering datang lebih dulu dari kebenaran. Kemarilah, kita bicara di lantai berdebu ini saja. Kau boleh memilih untuk berdiri atau duduk saja bersamaku, tak ada yang salah dari pilihanmu. Silahkan berdiri hanya bila kau tidak rela pakaianmu kotor oleh debu-debu ini."Ujarnya dengan irama seperti sedang membaca puisi cinta. Aku memutuskan untuk ikut duduk bersamanya. Di wajahnya muncul senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. Ia beringsut lebih dekat padaku. Ujung lututnya menyentuh pahaku. Tangan kanannya memegang sisi kanan lenganku, agak erat tapi tetap masih bisa kurasakan kelembutan disana."Aku jelaskan, kau sedang berada di rumah pelacur. Disini aku ingin sekali bisa berzikir bersamamu. Tapi tidak mesti mematahkan lidah dengan menyebut nama-Nya. Tuhan tidak butuh lidah ini, saudaraku. Lidah ini bisa bicara apa saja. Tapi lidah lekas lelah jika diajak menyebut kebesaran Dia. Aku katakan padamu zikir itu adalah ketulusan cinta. Dan cinta bukanlah terukur dari seberapa sering kau membicarakannya, namun seberapa lebar hatimu membiarkan ia bertempat. Cinta itu bukanlah desah napas di ranjang-ranjang empuk. Tetapi cinta yang sebenarnya hanya bisa kau rasa tatkala semua kasur dan ranjang dirumahmu telah habis kau bakar." Kucoba untuk tidak hanyut dalam kekagumanku padanya. Aku merasa perlu untuk juga bicara walau hanya dengan beberapa kata."Iya, aku ingin bicarakan cinta. Dulu, aku pernah enggan bicarakan hal ini di bumi setelah hatiku terpaut pada seorang wanita, lalu wanita itu pergi mengikuti suara seekor anjing yang sedang melolong. Ia mengajakku untuk ikut serta, tapi kutolak karena lolongan anjing tak pernah berikanku rasa indah. Sejak itu, aku sangat menikmati ketika aku bisa memuaskan diri ledakkan marah dalam caci maki. Sesuatu yang berbeda kurasakan setelah seekor kucing mengelus-elus kakiku. Sepotong ikan yang tersisa dari makan siangku ketika itu, dikunyah oleh kucing ini dengan begitu tenang. Ia tidak mengatakan apapun. Binar matanya seusai melahap sisa ikan tersebut, memberi pelajaran rendah hati padaku. Ah, begitu dalam tatapan mata kucing itu. Ia juga mengajarkan padaku tentang bagaimana berharap dalam cinta." Pelan kuceritakan padanya. Seakan aku sedang merasakan sebuah ekstase saat menceritakan itu. Jarak kepalaku dengannya semakin dekat saja. "Aku bangga bersaudara denganmu. Kau bijaksana, sudah seharusnya cinta itu tidak tersekat oleh kelambu-kelambu. Seseorang pecinta yang masih belum bisa menjauhkan kelambu dari peraduannya, ia takkan membuat sayap malaikat pembawa kebenaran leluasa menyentuhnya." Ujarnya seakan menyambung kalimat yang sebenarnya belum selesai kuucapkan. Beberapa jenak kemudian ia sudah menarik pundakku untuk berdiri dan melangkah kesisi lebih dalam rumah itu. Seorang perempuan sedang duduk manis diatas sebuah kursi yang bisa kurasakan begitu empuk, walaupun aku tidak ikut menduduki. Bibir perempuan itu membuatku terpana untuk beberapa saat."bibir adalah topeng untuk membungkus dusta yang dijalin manusia dalam kata-kata. Kuharap ini terakhir kalinya kau terpesona dengan bibir-bibir merekah seperti itu. Sebab, percayalah. Seindah apapun bibir itu, kau tidak akan merasakan orgasme. Bibir, bila itu dimiliki penyihir, mereka hanya akan menjadikan itu sebagai mantera yang membuatmu terlupa pada pencarian atas makna cinta dan pada Tuhan." Ia bergetar lirih mengatakan kalimat itu padaku. Aku tersipu seperti seorang gadis pemalu. Diluar, alam sedang mendeklarasikan diri sebagai kepekatan. Merasakan dingin yang teramat sangat, aku menduga tempat itu sebenarnya sedang berada tiba-tiba di kutub yang dipenuhi salju."Tidak, ini adalah gurun pasir, Saudaraku. Malam sudah tiba, ia sedang bicara dengan kita. Ia memang tidak akan berbicara denganku saja. Tapi karena kau sedang larut membayangkan tari perut yang disuguhkan penari-penari gurun. Merdu suara malam sudah tidak bisa kau dengar."Aku tersentak dengan kalimatnya itu."Tarian perut disuguhkan hanya untuk orang-orang gila. Sebab, tarian itu sendiri lahir dari orang gila yang ingin membicarakan bahwa ia sedang lapar. Jika kau biarkan dirimu melamunkan itu, kau tidak akan membantu penarinya untuk makan malam bersama dengan ajakan cinta. Tetapi malah kau hanya terdorong untuk membunuh dingin ini di ranjang-ranjang yang akan kian dalam menenggelamkanmu. Sendi-sendi tubuhmu akan melemah untuk kau bisa berjalan kembali ke jalan cinta yang lebih hakiki." Tidak kulihat gurat marah diwajahnya. Kebijaksanaan yang ia miliki sepertinya sudah membuat lekang semua marah. Akupun dibawanya keluar untuk melihat malam,"semua hitam yang kau lihat inilah kebenaran. Setelah hitam ini usai, dan kau berhasil menjalaninya dengan sepenuh cinta. Besok pagi, matahari akan terbang dengan sayapnya dan menyusup kedalam jiwamu. Matahari itu bisa pula kau pergunakan untuk membakar semua kebatilan. Cinta yang sudah lebih dulu kau pahami akan menunjukkan kekuatannya padamu. Aku harus pamit dulu, Saudaraku. Malam ini aku ingin melihat Dia di sebuah tempat yang belum bisa kau datangi. Semoga kelak aku bisa melihatmu sebagai guru untuk manusia bisa pahami cinta secara lebih mendalam. Jangan hentikan langkahmu sebelum kau disapa Malaikat Maut. Satu hal lagi, Malaikat Maut takkan terlihat seram dimata orang-orang yang sudah penuh jiwanya oleh cinta." Aku tertegun, ia seketika menghilang. Aku sudah tidak lagi berada di rumah itu. Semua terjadi seperti diluar kesadaranku. Suara tanpa bentuk datang hinggap ditelingaku,"jangan kau berharap untuk bertemu denganku sebelum semua pelacur itu terbunuh dengan cinta yang kau ajarkan." Meulaboh, 01 Nop 2009 Kunjungi juga rumah renungan kami di: http://refleksikita.wordpress.com http://www.fick-jeuram.co.cc

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun