Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perawan Aceh saat Konflik

1 April 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03 9246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_108396" align="alignleft" width="350" caption="Jangan kecilkan arti asap"][/caption] Gadis itu bernama En. Pelajar di MAN Jeuram, Nagan Raya. Cantik, dan tidak sedikit kawan-kawannya menaruh hati pada gadis itu. Pembawaannya juga sangat lembut dan benar-benar anggun. Secara kecerdasan juga ia tergolong sangat cerdas. Terbukti beberapa kali ia berhasil menjadi juara kelas. Tetapi, menjelang kelulusannya (tahun 2001), gadis ini menghilang. Selidik punya selidik, ia harus meninggalkan bangku sekolah, karena ia harus menikah. Seorang Kombatan GAM yang sering singgah ke desanya, Gampong Sawang Manee, ternyata memang sudah lama menaruh hati pada gadis ini. Sehingga, karena alasan sedang perang fii sabilillah, orangtua En juga perangkat desa tidak bisa menolak permintaan anggota GAM tersebut. Sehingga En pun dinikahkan dengan petempur yang tidak jelas apakah bisa menghidupi istrinya dalam suasana perang ataupun tidak. 2002, perempuan muda ini sudah menyandang status janda. Cita-citanya untuk bisa meneruskan pendidikan agar bisa menjadi guru terpaksa harus dilupakan, sebab status janda dirasakan tidak mengenakkan untuk disandang dalam usia yang belum melewati 20 tahun.

***

(2003), Dew, gadis tetangga desa En. Seorang Siswi MTsN Jeuram. Tinggal dengan seorang Ibu yang sudah menjadi janda cerai, di Desa Alue Thoe, Kecamatan Seunagan. Ibu gadis ini hanya berprofesi sebagai buruh tani. Mengupah sekedar untuk bisa memberi makan 2 anaknya, satu lagi Ke (17), kakak lelaki satu-satunya Dew. Karena perawakannya yang memang lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya, 15 tahun. Tak heran, perjak-perjaka di gampongnya tertarik untuk mendapatkan ia sebagai istri. Salah satunya, juga seorang anggota GAM yang sering ditugaskan atasannya untuk memata-matai operasi yang dijalankan pihak TNI/Polri (untuk spionase). Saat itu, siapa saja yang memiliki senjata di tangan, maka sangat mudah untuk bisa dapatkan apapun. Termasuk menikahi gadis di bawah umur (tentu hanya secara siri). Begitu juga yang terjadi pada Dew. Persis sama dengan En, meninggalkan bangku sekolah ketika ia baru akan mengikuti ujian akhir di sekolahnya, MTsN Jeuram. Sekarang, ketika bendera perdamaian sudah berkibar, ia harus memelihara seorang anak buah pernikahannya dengan petempur GAM. Sedangkan untuk bekerja ia memang tidak memiliki skill apapun, selain menjadi buruh tani saja seperti yang dilakoni oleh ibunya.

***

Nong (16), gadis yang bertempat tinggal di Desa Paya, Peuleukung mengalami kejadian yang sangat [caption id="attachment_108397" align="alignright" width="300" caption="Bagian masa lalu"][/caption] berat dalam usianya yang memang belum tepat untuk disebut dewasa. Sebagai seorang gadis yang baru tumbuh, ia terkagum-kagum dengan militer. Kegagahan fisik lelaki berbalut seragam loreng menjadi sebuah daya tarik tersendiri baginya. Sampai, ia mencoba untuk welcome saja ketika salah satu dari TNI yang sedang menjalankan tugas operasi dan mendirikan Pos di desanya, mengajak berkenalan. Namun, perkenalan itu berhenti hanya sebagai perkenalan saja. Melainkan berlanjut pada hubungan cinta seperti laiknya orang dewasa. Pun, militer di masa itu menjadi pemegang kendali atas segala sesuatu, kelonggaran begitu menganga. Sehingga ketika mereka 'berulah' tidak ada yang berani protes, sebab resikonya sangat jelas, peluru bisa dengan mudah bersarang di kepala. Sampai terjadi penyerangan besar-besaran pada Pos yang berada persis di pertigaan jalan di Desa Peuleukung. Sebuah serangan yang memang tidak terduga oleh TNI, karena saat itu tentara yang bertugas di sana sedang lengah. Jumlah pasukan yang hanya berkisar 12 orang itu terpaksa lari kucar-kacir. Beberapa bahkan menyelamatkan diri hanya dengan membawa lari berupa satu celana pendek yang dikenakannya saja. Setelah penyerangan itu terjadi, Pos yang ditempati oleh militer telah kosong. Petempur GAM yang melakukan penyerangan berhasil mendapatkan beberapa pucuk senjata laras panjang berbagai jenis, uang prajurit TNI yang tidak sempat diambil saat melarikan diri, dan... puluhan lembar photo berisi gambar-gambar vulgar prajurit TNI yang sedang bercinta dengan gadis tersebut.

***

Ini merupakan catatan saya pribadi, yang saya temukan lewat investigasi tidak sengaja. Pernah tertulis di berlembar-lembar kertas buku, sayang sekali sudah hilang. Hanya saja, karena memang masih bisa saya ingat, saya tuangkan kembali di sini dengan maksud:

[caption id="attachment_108398" align="alignleft" width="185" caption="Jangan lagi ada anak dan perempuan yang terzalimi (Dok: Pribadi)"][/caption]

1. Perdamaian sudah tercipta di Aceh, tetapi sejauh ini persoalan yang berhubungan dengan perempuan-perempuan yang dikangkangi hak-haknya bisa saya pastikan belum tertangani dengan baik. Apalagi, secara psikologi, perempuan Aceh yang menjadi korban bukanlah perempuan yang terlalu berani untuk bisa suarakan yang pernah dialaminya di masa konflik. Karena bentukan adat dan lingkungan, perempuan yang berada di pedesaan dipandang tabu jika terlalu menonjolkan diri--termasuk jika hendak membicarakan kezaliman yang menerpa hidupnya. Maka jelas ini menuntut perlunya inisiatif yang lebih berpihak pada mereka.

2. Perdamaian yang sudah berlangsung di Aceh memang sudah memberi dampak lengkap dengan sekian banyak dana (tidak perlu saya berlelah-lelah mencatat kembali karena media juga sudah sangat banyak mencatat angka rehabilitasi Aceh pasca konflik). Jikapun proses itu berjalan, ganti rugi dan sebagainya. Tetapi masih hanya berupa pembenahan di sisi fisik, seperti apa psikologis masyarakat Aceh, khususnya perempuan, juga belum ada ketegasan dalam kaitan dengan penanganannya. Dan, ini perlu direfleksikan ulang untuk adanya sebuah tindak lanjut inklusif, sehingga tidak membentuk citra bahwa perdamaian Aceh hanya bisa dinikmati kaum laki-laki (politik bias gender)

Terakhir, saya sebagai salah satu yang pernah melihat sendiri seperti apa pertempuran yang pernah terjadi di sana, hanya ingin katakan: "jangan menutup mata dengan asap kecil di tumpukan jerami. Sebab asap itu bisa jadi merupakan percik api yang akan membakar seluruh 'ladang' negeri ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun