Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan Jatuh Setelah Bunga Luruh

10 Januari 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan jatuh di atap. Kutahu, air sudah tumpah sampai ke pipimu, anakku.


Terlalu lirih suara lelaki paruh baya itu. Bukan takut terdengar tetangga. Ia lebih khawatirkan akan didengar dinding. Oleh alasan, rumah yang didiaminya dengan 3 anaknya yang masih kecil-kecil itu hanya kontrakan. Bisa jadi bulan depan ia tidak sanggup membayar dan harus pindah lagi. Sedang dinding itu pasti tetap di situ.


Istrinya mati. Ketika sebuah peluru perang di tanoeh Aceh hinggap di leher ibu anak-anaknya itu. Leher indah yang kerap ia gumuli sampai 3 bocah itu lahir satu persatu.


Perang itu kejam. Merenggut istrinya. Sehingga ketika hujan seperti ini jatuh. Ia hanya bisa tatapi bantal yang kerap dijadikan alas kepala istrinya, Mala. Bantal dengan sarung yang sering diganti dengan jahitan tangannya sendiri. Takdir tidak ramah, selepas peluru itu singgah di tubuh Mala, bantal itu tidak pernah berganti sarung. Tak ada yang bisa jahitkan sarung dengan gambar bunga timbul di sana.


"Andai dengan membunuh serdadu itu, kau bisa hidup lagi. Ingin rasanya kulakukan itu. Bahkan meskipun ia sudah mati. Kuambil kerangkanya untuk kuletakkan di aspal untuk kupalu sampai lumat" Rintih Yasin, nama lelaki itu, tanpa suara."Aku tahu, peluru itu datang ke tubuhmu tanpa sengaja. Pun, aku tahu, kau tidak inginkan aku gila sedang anak-anak itu butuh ayah yang bisa sekaligus menjalankan peran seorang ibu...."

"Kutahu, peranmu tidak bisa sempurna kugantikan. Kecuali kau sendiri hidup kembali. Memberi usapan yang pasti lebih lembut di kepala mereka yang masih penuh mimpi indah itu." Jeritannya hanya di rongga dada saja.

"Tanganku, terlalu kasar untuk lakukan itu."


Entah hujan mendengar dan mengambil rintih lelaki itu, untuk kemudian disiramkan ke kuburan istrinya yang sudah sekian tahun mati. Tidak dipahaminya, bagaimana meminta pada hujan. "Suaraku tidak sepadan dengan sejuk hujan!"


Tak lama, ia tertidur. Di bantal peninggalan istrinya. Dan hujan masih jatuh. Sekarang mengalir ke hatinya. Sejuk. Seiring kelebat ayu wajah istrinya datang. Sayangnya hanya sesaat. Di mimpi saja.

Inspired by a real story in Atjeh after the war

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun