Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Nostalgia Rahwana

26 November 2012   18:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:38 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354011360945564278

[caption id="attachment_226149" align="aligncenter" width="640" caption="Gbr: Misagoe"][/caption] "Teringat pada suatu waktu, kuberjalan-jalan di depan rumah. Teringat s'lalu, pada senyummu, ingin ku bertemu..." Begitu mendayu lagu itu, dari penyanyi yang belum penah kucari tahu siapa namanya. Jelasnya, lagu itu pula di bus antar kota ini membawa sekerat lamunanku ke depan rumahmu. Ketika kau masih sebagai remaja menjelang SMA.Sedangkan aku, sudah mengenakan seragam putih abu-abu itu. Lagu itu, kuakui, setiap mendengarnya selalu membuatku merasa sedang mendengar suaramu. Suara kekeh renyah seorang perawan. Deretan gigi putih itu, kukira jauh lebih bening dari matahari kendati sedang tak dihalangi mendung. Saat-saat itu, aku adalah lelaki pencuri. Selalu berhasil mencuri pandang ke arahmu, tapi selalu gagal mencuri hatimu. Kadang-kadang, aku berdebat dengan diri sendiri: jika kau adalah Sinta, jangan-jangan aku hanya Rahwana. Tapi, aku bukan raksasa yang tak merasa berdosa menculikmu lalu membawamu ke Alengka. Begitu pula, aku pun bukan Ramayana, yang konon sakti mandraguna yang bisa membuat raksasa pun putus asa. Kikuk, canggung, sering gemetar di depan gadis-gadis. Sifat itulah sifatku. Sederet sifat yang pastinya tak dimiliki Ramayana, tidak pula Rahwana. Padahal andai tak begitu, aku bisa meniru Rama, sehingga kau tak kuasa menoleh ke arah dagu kokoh lelaki manapun, kecuali daguku.Pun, mungkin bisa membuatmu hanya melamunkan kecup bibirku, tanpa tertarik pada bibir manapun yang dimiliki mulut berbau lelaki lain. Sialnya, menjadi Rahwana juga aku pun tak kuasa. Tak pernah ada dongeng yang dibuat dengan asal-asalan sekalipun, yang menggambarkan Rahwana bertubuh ceking. Rahwana yang lebih sering beringsut-ingsut di depan perempuan, daripada berdiri dan lantas berjalan dengan gagah. Lantas, aku hanya bisa berandai-andai. Sedang aku, kian terbuai pada helai-helai rambutmu yang memang hitam tergerai. Jauh setelah itu. Seiring waktu yang berjalan kaku, aku tetap masih sebagai lelaki yang bisa dikatakan gagu. Sejuta kali bertemu denganmu, tak sekalipun kuasa kukatakan tentang isi perasaanku padamu. Ya, perasaanku itu mungkin sudah berada dalam ukuran berat berton-ton. Dengan ukuran berat begitu, jelas tak mudah untukku menumpahkannya. Persis ketika kau selesai wisuda. Aku hadir di depanmu, tak membawa bunga, tak membawa apa-apa. "Selamat, ya, Sinta. Kau sudah sarjana..." Selarik kalimat itu saja yang bisa kuluncurkan, itupun secara terbata-bata. Sepertinya, tak ada perempuan manapun yang tertarik pada lelaki yang tak bisa bicara di depannya. Ia pasti membayangkan hanya seperti mencintai boneka yang tak selucu boneka Panda, Teletubbies, atau Winnie The Pooh. Mungkin ia akan berpikir, lebih baik membanjiri kamarnya dengan boneka-boneka yang benar-benar bisu begitu. Ya, daripada mengizinkan cinta menetes di hatinya dan dialirkan untuk lelaki seperti itu, seperti aku. Apa yang bisa kulakukan tak lebih dari sekadar merutuki diri, sesekali merutuki cermin. Lha iya, sudah berapa kali aku berdiri di depan cermin, berlatih keras untuk bisa bicara sambil membayangkan dirimu di depanku. Sial kembali dan begitu terus, aku masih tak mampu. Namun begitu, selalu ada jalan untuk menembus hatimu. Selalu ada cara untuk membuka pintu perasaanmu, agar lelaki yang mencintaimu bisa masuk ke sana. Tanpa perlu banyak bicara, hanya mencari cara agar setiap kau menoleh selalu ada aku di sana. Selalu ada lelaki yang menginginkanmu di setiap titik tempat di mana kau melempar pandang. Berhasil. Perhatianmu berhasil tersita. Perasaanmu berhasil teraih. Sayangnya, yang berhasil melakukan itu justru bukan aku. Lelaki itu. Lelaki yang secara terbuka mengaku sudah beranak satu. Namun, ia sudah bercerai dengan istrinya yang seorang bintang film. Ia bertampang klimis, beda denganku yang merasa gagah dengan kumis. Berkali-kali kulihat ia memeluk pinggangmu. Ia melabuhkan dagunya dari belakang lehermu, dan kau menggelinjang manja. Pemandangan itu terasa seperti neraka bagiku. Jika benar saat ini aku di neraka, dosa-dosa apa saja yang sudah kulakukan hingga harus terjerembab di neraka ini? Apakah ketidakmampuan menabur kata-kata indah dan berbicara leluasa menyatakan cinta adalah dosa? Saat ini, aku kembali merutuk. Merutuki lagu yang kudengar di bus ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun