Pernah ada masanya saya membayangkan pahlawan hanya mereka yang memanggul senjata, terjun ke medan perang, membunuh atau dibunuh.
Bayangan itu sempat berkutat lama, karena di masa kecil gemar dengan buku-buku sejarah yang acap menonjolkan perang dan perang, hingga setiap kali memperingati Hari Pahlawan, langsung terbayang serdadu-serdadu berpeluru.Â
Tampaknya, sampai saat ini masih banyak yang punya bayangan begitu. Setidaknya, bagi kalangan remaja, terutama yang tidak terlalu berminat menyelami sejarah terlalu dalam.Â
Satu sisi, kemungkinan bayangan itu hinggap di benak banyak remaja, bahwa pahlawan mesti bersenjata dan siap bunuh-bunuhan, tidak lepas dari literasi yang dijejalkan lewat buku-buku sejarah yang kurang seimbang.Â
Semestinya narasi sejarah perlu digulirkan secara lebih seimbang. Bahwa, benar jika perjuangan merebut kemerdekaan menuntut pengorbanan apa saja, dari harta sampai dengan nyawa, namun idealnya tidak perlu terlalu berbau tentara.Â
Sebab, jelas, kalau saja kepahlawanan hanya berkutat pada kemampuan bunuh-bunuhan, tentu saja akhir dari sejarah pertarungan itu hanya berkutat pada jumlah orang terbunuh saja, dan tidak ada yang lebih jauh dibandingkan itu.
Namun, lantaran masih banyak juga pahlawan yang bersedia pasang badan lewat pendidikan, pergerakan, hingga diplomasi sebagai jalan non-kekerasan, hingga sejarah lebih tinggi tercapai, memberikan kemerdekaan untuk negeri ini.Â
Saya sendiri, gemar membayangkan pahlawan dari kacamata beraroma darah dan perang melulu, setidaknya sampai sekolah menengah pertama.Â
Maka itu, kalaupun ada roman-roman atau novel sejarah, mana yang paling menarik perhatian saya hanyalah yang bercerita tentang betapa heroiknya pertarungan dengan peluru dan aroma mesiu.