Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Ulang Narasi Seputar Pahlawan

10 November 2019   12:12 Diperbarui: 11 November 2019   01:00 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pemberontakan di surabaya pada 10 November 1945.(IPPHOS) | interaktif.kompas.id

Pernah ada masanya saya membayangkan pahlawan hanya mereka yang memanggul senjata, terjun ke medan perang, membunuh atau dibunuh.

Bayangan itu sempat berkutat lama, karena di masa kecil gemar dengan buku-buku sejarah yang acap menonjolkan perang dan perang, hingga setiap kali memperingati Hari Pahlawan, langsung terbayang serdadu-serdadu berpeluru. 

Tampaknya, sampai saat ini masih banyak yang punya bayangan begitu. Setidaknya, bagi kalangan remaja, terutama yang tidak terlalu berminat menyelami sejarah terlalu dalam. 

Satu sisi, kemungkinan bayangan itu hinggap di benak banyak remaja, bahwa pahlawan mesti bersenjata dan siap bunuh-bunuhan, tidak lepas dari literasi yang dijejalkan lewat buku-buku sejarah yang kurang seimbang. 

Para pahlawan yang bertarung di Surabaya - Foto: Imperial War Museum
Para pahlawan yang bertarung di Surabaya - Foto: Imperial War Museum
Padahal, kalau pun mau menyimpulkan bahwa perjuangan memang mesti mempertaruhkan darah hingga nyawa, namun tidak mesti mensyaratkan kesiapan untuk bunuh-membunuh. 

Semestinya narasi sejarah perlu digulirkan secara lebih seimbang. Bahwa, benar jika perjuangan merebut kemerdekaan menuntut pengorbanan apa saja, dari harta sampai dengan nyawa, namun idealnya tidak perlu terlalu berbau tentara. 

Sebab, jelas, kalau saja kepahlawanan hanya berkutat pada kemampuan bunuh-bunuhan, tentu saja akhir dari sejarah pertarungan itu hanya berkutat pada jumlah orang terbunuh saja, dan tidak ada yang lebih jauh dibandingkan itu.

Namun, lantaran masih banyak juga pahlawan yang bersedia pasang badan lewat pendidikan, pergerakan, hingga diplomasi sebagai jalan non-kekerasan, hingga sejarah lebih tinggi tercapai, memberikan kemerdekaan untuk negeri ini. 

Saya sendiri, gemar membayangkan pahlawan dari kacamata beraroma darah dan perang melulu, setidaknya sampai sekolah menengah pertama. 

Maka itu, kalaupun ada roman-roman atau novel sejarah, mana yang paling menarik perhatian saya hanyalah yang bercerita tentang betapa heroiknya pertarungan dengan peluru dan aroma mesiu.

Tidak sedikit pahlawan yang berjuang lewat kekuatan ilmu pengetahuan - Foto: Arsip Nasional
Tidak sedikit pahlawan yang berjuang lewat kekuatan ilmu pengetahuan - Foto: Arsip Nasional
Sementara bagaimana perjuangan ditempuh oleh Mohammad Roem, Mohammad Hatta, Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (Sam Ratulangi), Tan Malaka, Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (Setiabudi), Hasyim Asy'ari, Kasman Singodimedjo, dll, sempat tidak menarik perhatian. Pasalnya, saya di masa kecil, sempat menilai, mereka tidak terlalu berdarah-darah. 

Perlahan cara melihat pahlawan itu berubah hanya setelah memasuki bangku sekolah menengah atas, seiring lebih sering menggeluti buku-buku sejarah lebih luas; tidak melulu hanya yang bercerita tentang pertarungan lewat peluru.

Tiba pada sebuah pandangan baru, baru pahlawan bekerja dengan berbagai cara. Mereka siap mati, hingga tak sedikit yang berjuang lewat perang sebenar-benar perang yang berdarah-darah, juga siap mati meskipun ada sebagian yang memilih jalur yang jauh dari kekerasan.

Roem, Hatta, Ratulangi, Setiabudi, sampai dengan Kasman Singodimedjo, sampai dengan Soekarno, adalah pahlawan yang bisa dibilang tidak pernah meletupkan pistol untuk meledakkan kepala musuh.

Namun mereka menyerang kepala musuh dengan pikiran-pikiran mereka, dan kegigihan mereka mengambil jalur lain lewat kemampuan beretorika, berdebat, hingga berhadapan dengan lawan lewat segala ilmu pengetahuan yang mereka punya.

Maka itu, hari ini, ketika para pahlawan kembali dikenang lewat Hari Pahlawan, ada harapan terbetik di benak saya, agar ke depan narasi-narasi seputar pahlawan semestinya dapat lebih seimbang.

Sebab pahlawan tidak melulu adalah cerita tentang para prajurit yang selalu siap dengan senjata terkokang, melainkan juga mereka yang juga siap bertarung lewat ilmu pengetahuan, akal dan pikiran tanpa kekerasan.

Keseimbangan narasi tentang pahlawan ini, menurut hemat saya, akan membantu kalangan muda, terlebih anak-anak, untuk juga seimbang dalam melihat siapa saja yang berjasa mendirikan negara ini dan mempertahankannya hingga hari ini. Ketika keseimbangan ini sudah hadir lebih baik, maka ini bisa menjadi jalan yang juga menginspirasi mereka untuk melihat perjuangan lebih luas lagi.

Terlebih lagi, sudah menjadi hukum alam, bahwa sebuah kebaikan besar acap kali lahir justru dari keseimbangan. Maka itu, dengan narasi lebih seimbang seputar pahlawan, bukan mustahil kalangan muda tidak terpaku melihat heroisme sekadar dari otot, melainkan juga dapat melihat lebih jelas kekuatan otak.

Lebih jauh lagi, akan muncul keseiramaan dengan negara-negara maju, yang maju karena mereka semakin baik dalam memaksimalkan kerja-kerja otak; melahirkan ilmu pengetahuan, dan membawa pengaruh ke seluruh dunia melalui jalan tertinggi peradaban manusia. 

Bukan mustahil, ini kelak membuka jalan lebih lebar untuk negara ini, tidak sekadar bangga karena telah merdeka, namun bangga karena akhirnya juga mampu berada di tempat terdepan sebagai sebuah negara. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun