Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Inilah Orang Asing Bagi Kita Rakyat Jelata

10 April 2019   19:55 Diperbarui: 11 April 2019   06:50 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka membutuhkan pemimpin yang terdekat dengan kehidupan mereka, bukan orang asing dengan keseharian mereka. Gbr: Merdeka.com

Salah satu presiden Amerika Serikat, John Quincy Adams, punya pesan yang acap dikutip oleh banyak orang dalam ceramah-ceramah terkait masalah sosial politik atau sekadar obrolan kaki lima. Salah satu pesannya adalah, "If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader."

Sebagai rakyat, kenapa saya pribadi acap menunjukkan sikap menentang keras orang-orang seperti Prabowo Subianto dengan Sandiaga Uno berkuasa, kurang lebih menemukan kebenarannya di sana. Sebab sebagai rakyat yang lahir dari rahim rakyat jelata, hidup di tengah masyarakat biasa, terbiasa dengan realitas pertarungan realistis sebagai orang-orang biasa, mereka itu adalah orang-orang asing.

Katakanlah saya sebagai orang miskin, jika hidup mengacu kepada dua orang ini, bisa jadi yang lahir hanyalah lamunan hingga merutuki apa yang sudah terjadi. "Kok gue hidup dari kalangan orang biasa, sampe gue cuma jadi orang biasa saja? Mereka, Prabowo dan Sandiaga, bisa dipuja di mana-mana karena dari orok sudah ada jaminan dari harta orang tua." Kira-kira begitulah ratapan yang lahir.

Sekali lagi, sebab Prabowo adalah orang asing. Sandiaga adalah orang asing. Kalau Prabowo sempat mengatakan bahwa kekayaan negeri ini saja hanya mengalir kepada sebagian kecil orang di negeri ini, ia dan pasangannya di Pilpres 2019 itu adalah bagian dari orang yang masuk kasta itu. Elite!

Orang-orang yang terbiasa hidup di lingkaran elite, hanya mengenal dunia elite, tidak benar-benar bertarung dengan terik matahari, tidak perlu bersusah payah bersaing. Mereka menghadapi hidup dengan membawa nama bapak mereka saja maka semua akan lancar-lancar saja. Jika tidak, membawa nama mertua.

Bagi saya, mental-mental begitu bukanlah mental yang dibutuhkan negeri yang--lagi-lagi mau saya bilang--sebagai negara berkembang. Sebab mereka takkan mampu masuk ke dalam kehidupan rakyat jelata. Makanya terkadang saya bahasakan ini di media sosial begini, "Ada orang dari kecil sudah terbiasa dimanja orang tua, dewasa dimanjakan mertua, saya bisa belajar apa dari mereka?"

Tendensius! Silakan saja menghakimi pendapat saya ini sebagai pendapat tendensius. Paling tidak inilah cara saya menikmati kebebasan berpendapat, sesuatu yang juga saya yakini belum tentu didapat kalau sampai kelak kekuasaan berhasil mereka dapat.

Kenapa bisa saya katakan begitu? Sebab mereka yang punya rekam jejak yang terbiasa dimanja, cenderung hanya mau mendengar dan akan berang ketika diminta untuk juga bersedia mendengar. 

Kenapa saya katakan begitu? Sebab mereka yang biasa dimanja, hanya mau mendengar dan peduli apa yang mereka mau. Tidak lebih. Apakah mereka benar-benar mau peduli dan mendengar suara rakyat jelata dan masyarakat biasa? Mereka tidak terlatih untuk itu.

Ibaratnya, jika mereka ingin berjalan ke suatu tempat, hampir tanpa perlu berkeringat, dalam waktu cepat bisa sampai ke suatu tempat. Kasarnya, jika mereka memiliki perusahaan, modal habis, tinggal minta lagi. Jika rugi, tinggal minta lagi. Jika bangkrut, mereka tidak perlu harus membuat kening mengerut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun