Sebab, pertarungan itu memang kerap menghalalkan segala cara. Di sanalah istilah "haram" sama sekali tak tercantum dalam kamus mereka. Seisi kamus hanya berisi kata "boleh" dan "boleh" alias semua halal.Â
Bahkan Emha Ainun Nadjib yang acap dikenal dengan Cak Nun pun pernah meratapi hal yang persis serupa.Â
Ringkasnya, merujuk kata Cak Nun dalam buku "Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara"ada ratapan dengan aroma kurang lebih sama, bahwa pemelesatan--jika setuju menyederhanakan kebohongan sebagai pemelesetan--jika dilakukan dengan sadar, apalagi untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan, maka mungkin seorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan.
Apa  saja kedua kemungkinan ala Cak Nun itu? Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua, berang, marah, melawan, dan mati.
Ya, mungkin jika dikulik lebih jauh ke mana arah kerisauan Cak Nun tadi, lebih ke pemandangan yang pernah ada di masa lalu. Di masa ketika mertua salah satu capres masih menjadi raksasa yang terlalu sulit ditumbangkan.
Saat itu, keluarga miskin disederhanakan sebagai prasejahtera, dan berbagai penyederhanaan lainnya. Lugasnya, itulah cara "sang mertua" membungkus kebohongan. Bahkan kala itu, maling ayam yang dihajar serdadu saja, bisa disederhanakan sebagai "dibina" meski orangnya sudah babak belur.
Kembali ke cerita salah satu capres, apakah ia juga memang sangat terilhami sang mertua? Bisa jadi, bisa juga tidak.Â
Sebab, sang mertua membangun "pemelesetan" tadi ketika sudah berkuasa, sementara sang menantu melakukan itu saat ia sendiri masih mengayunkan langkah untuk bisa mencicipi bagaimana sebenarnya kursi kekuasaan dan aroma istana ketika bisa menjadi tuan di sana.
Masalahnya, si menantu ini terbilang kelewatan. Belum juga jadi penguasa sudah semena-mena. Paling semena-mena karena berkali-kali tanpa merasa berdosa menjatuhkan nama banyak pihak hanya untuk mengangkat namanya.
Kalau saja sekadar terhenti di dia, dan tak membawa pengaruh kepada siapa-siapa, tentunya itu bukanlah sebuah persoalan.
Masalahnya, lantaran ia memiliki pengikut yang terbilang jutaan, bahkan untuk sekali aksi di lingkaran Monas saja bisa sampai tujuh hingga 11 juta berdasarkan hitungan suka-suka, bisa dibayangkan pengaruh setiap pernyataannya. Apalagi di hampir setiap ia bicara, hampir semua menempatkan setiap muncratan ludahnya setara sabda maharaja yang takkan ada yang mengingkarinya.