Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Genit Menulis Politik

24 Oktober 2017   02:20 Diperbarui: 24 Oktober 2017   10:48 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sedikit genit, tapi semestinya lebih banyak hal baik - Foto: Zulfikar Akbar

Sejatinya tiap hari saya hanya berkutat dengan berita olahraga. Dari sepak bola, terkadang otomotif, hingga golf. Lebih sering, sepak bola yang harus saya garap di media tempat saya bekerja. Jadi, berapa jumlah gol, kenapa satu klub memburuk, kenapa yang lain melesat, harus saya tulis tiap hari. Lalu kenapa genit menulis politik?

Bagi Anda yang punya kemiripan dengan saya, tak terlalu saleh, bahkan banyak salah, mungkin akan mengakui jika kegenitan itu menantang. Makanya saya tertantang untuk genit menulis politik.

Di dunia hidung belang, kegenitan itu sering berujung ke ranjang. Untuk apa? Ya, untuk tidur. Ini bukan soal meniduri. Melainkan, ini betul-betul tidur. Dalam arti Anda tak menyeret siapa-siapa, kecuali tidur dengan istri, atau hanya sendiri. Jika meniduri berkonotasi miring, sedangkan tidur bisa juga miring tapi masih bisalah sambil tengkurap atau terlentang. Yang jelas, keduanya sama-sama menyenangkan.

Apa korelasinya dengan genit? Ya, jika Anda memilih tidur, maka Anda menyelamatkan diri sendiri untuk tak terpikir urusan meniduri. Sekaligus Anda menyelamatkan anak manusia agar tak ternista dan ternoda. Artinya, suatu hal menyenangkan tak boleh melupakan bagaimana agar dapat menyelamatkan.

Kegenitan saya dalam menulis politik kira-kira mirip itulah. Semestinya saya fokus saja pada bidang sendiri, eh malah lari ke sana kemari. Tadi di kantor berapi-api menulis tentang Cristiano Ronaldo yang makin sering nihil gol, eh ini masih saja melirik urusan politik. Beginilah adanya, kegenitan memang tak lepas dari urusan lirik melirik. Itu juga kenapa terkadang saya mengajak istri ke berbagai acara di luar urusan pekerjaan, termasuk acara-acara Kompasiana, agar tak tergoda melirik-lirik. Anda percaya? Jangan, sebab boleh jadi di hati kecil saya sedang melatih kemampuan tentang bagaimana melirik tanpa diketahui istri meski saya ada di sisinya.

Kira-kira begitulah gambaran kegenitan. Meski analogi saya agak sedikit beraroma stensilan, tapi saya yakin perumpamaan begini takkan membuat kening Anda mengerut. Seperti saya menjaga untuk tak terlalu mengerutkan kening, agar tak cepat keriput. Sebab jelas, jika keriput maka Anda akan lebih terpikir akan masuk surga atau neraka setelah mati, alih-alih berpikir bisa membuat surga dengan kegenitan sendiri.

Kegenitan terkadang disukai, lebih sering sih dibenci. Kenapa, karena kegenitan acap dipandang sebagai langkah instan saja, hanya mengejar hal-hal menyenangkan tapi justru acap berujung pada hal-hal yang jauh tak menyenangkan.

Itu juga saya alami. Ketika menulis apa adanya seputar politik, maka akan banyak hal menjengkelkan saya terima. Bukan salah mereka yang tak suka, tapi karena saya sendiri lebih dulu memilih sikap menjengkelkan.

Lha bagaimana tak menjengkelkan, saat sebagian orang yang mengenal saya, sering salat tapi kok membela "orang kafir"? Ketika orang-orang teriak anti-PKI lha ini kok mengajak untuk tak memboroskan waktu pada hal-hal berbau imajinasi basi. 

Menjengkelkan. Semestinya ikuti saja, ketika orang-orang menjadikan satu isu sebagai tren, ikuti saja, sebab 'kan mereka seagama, sesuku, dlsb. Ini masak dilawan. Siapa elu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun