Mohon tunggu...
George Soedarsono Esthu
George Soedarsono Esthu Mohon Tunggu... profesional -

Menembus Batas Keunggulan Pioneer, Problem Solver, Inspirator To Live, To Love, To Serve Mengolah Kata-Mengasah Nurani-Mencerdaskan Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembentukan Subyek Ngayogyakarta Hadiningrat

21 Februari 2015   14:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424476695879298780

[caption id="attachment_369935" align="aligncenter" width="300" caption="Logo Jogja yang baru. Sumber: Komunitas Jogja Handarbeni"][/caption]

TATANAN IMAJINER

Yogyakarta sebagai: dunia, penunjuk, dimensi imej-imej - yang sadar maupun tak sadar, dipahami maupun diimajinasikan, tergambar dalam tembang Pucung.

Bapak pucung

Pasar Mlathi Kidul Ndhenggung

Krécak lor Negara

Pasar Gedhé loring Loji

Ménggok ngétan

Kesasar nèng Nggondomanan.

Tembang di atas, menggambarkan tata ruang Jogja secara Imajiner dalam bentuk pupuh Pucung. Jogja sebagai pusat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak Ki Gede Pemanahan, M. Ng. Senopati Ing Ngelaga (1575-1601, Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), Sultan Agung (1613-1645), Sunan Amangkurat I (1645-1677), Sunan Pakubuwono I (1703-1719), Sunan Prabu Amangkurat IV n(1719-1727). Amangkurat IV memiliki 4 putra: KPH Hadiwidjoyo, Sunan PB II (1727-1749). KPH Mangkunegoro yang dalam pembuangan oleh Kompeni di Pulau Ceylond, hingga wafatnya, dan Sultan HB I (1755-1792). Disinilah Mataram mulai terbagi dua, sejak Pangeran Mangkubumi berhasil dibujuk Belanda untuk ditahtakan di Ngayogakarta Hadiningrat dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian, perpecahan semakin menarik Ketika KGPAA Mangkunegoro I bermusuhan dengan HB I yang tidak lain adalah mertuanya sendiri. Akan tetapi, sesungguhnya Mataram mulai berjaya sejak Senopati Ing Ngelaga memindahkan pusat pemerintahan ke Alas Mentaok, yang nantinya dikenal sebagai Kota Gede. Dhus tembang pucung diatas menggambarkan Tata Ruang Utama Mataram yang kemudian mempengaruhi pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih tegak berdiri hingga hari ini.

Tatanan IMAJINER ini mendahului Tatanan SIMBOLIK, dimana terjadi proses mirror-stage, dimana DIY tidak mengenali dirinya secara utuh dan baru mendapatkan gambaran dirinya secara utuh dalam cermin.Proses ini akan berkembang dalam bentuk terus mencari gambaran dirinya dan mengidentifikasikan dirinya dalam gambaran lain yang dilihatnya. Ini disebut keterpecahan diri SUBYEK.Dalam Tatanan IMAJINER inilah ego muncul. Dibangun melalui identifikasi specular image (persepsi visual).Refleksi-refleksi pada cermin ini disebut Imago. Imago adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang bukan diri sang Subyek, tetapi diidentifikasikan dirinya oleh sang SUBYEK.Dalam tahap ini sang SUBYEK direduksi menjadi sebuah “mata”, karena dalam Tatanan ini persepsi visual memegang peranan utama.Tatanan ini mendahului bahasa dan pemahaman tentang peran. Tatanan ini sangat bergantung pada persepsi visual.

Dalam Tatanan ini ada “tatapan” – yang adalah sebagai medium bagi “hasrat”. Tatapan inilah yag memisahkan hasrat dengan obyeknya, sehingga menciptakan sebuah “gap” – sebuah lubang dalam diri sang SUBYEK dan antara sang SUBYEK dengan dunia luar.Dalam Tatanan ini terjadi alienasi pada diri sang SUBYEK. Ia diasingkan dari dirinya sendiri dan diidentifikasikan dengan “yang lain”, yang bukan dirinya. Hal ini akan terjadi sepanjang masa, SUBYEK mengidentifikasikan dirinya dengan “yang lain”, sebagai pantulan dalam cermin yang mengandung diri “ilusif” maupun mencari gambaran dirinya dalam diri orang lain. Dalam perspektif kasunyatan menjelma dalam bentuk bahwa DIY akan tetap mempertahankan ke-ISTIMEWAANNYA, yang, istilah ke-istimewaan tersebut belum mampu diuraikan dan dijabarkan oleh masyarakat Jogya sendiri, dimana menyebabkan, dalam Tatanan Imajiner ini dipenuhi dengan gambaran dan imajinasi, dan juga kekeliruan. Sehingga, acara Jogya Semesta yang sudah bergulir sehingga mencapai seri yang ke-74 pun, belum juga mampu mengidentifikasi kedirian Jogyakarta. Karena apa? Jogya Semesta masih sibuk mengidentifikasi diri dengan “yang lain”, sehingga masih terus teralienasi karena asyik pada “diri yang ilusif”.

TATANAN SIMBOLIK

Tatanan Simbolik mengacu kepada simbol. Yang dimaksud simbol disini bukanlah ikon maupun bentuk tertentu, tetapi simbol yang dimaksud adalah “penanda”.Tapi penanda itu sendiri tidak memiliki maknanya sendiri, hanya berfungsi untuk menunjuk kepada “yang ditandakan”. Tatanan ini adalah Tatanan yang paling utama, dimana SUBYEK mulai tebentuk, dan merupakan efek dari Tatanan Simbolik. Penanda adalah semua tanda yang mudah dikenali, yang, memberikan simbol penanda bagi Jogjakarta. Penanda itu adalah: Tugu, Lempuyangan, Malioboro, Mbringharjo. Alun-alun Lor, Alun-alun Kidul, Parang Tritis, Parang Kusumo, Merapi, Gembira Loka, Kota Gede, Pasar Patuk, Pasar Ngasem.. Dimana penanda-penanda tersebut secara imanen maupun fungsionil menjadi penanda yang abadi. Ketika SUBYEK mulai memiliki ide tentang “yang lain”, maka SUBYEK memasuki Tatanan Simbolik. Contoh, “Ngayogyakarta Hadiningrat ingin menjadi sister city Sint Pietersberg, Ibukota Rusia sebelum berpindah ke Moskow. Mengapa Sint Pietersberg? Secara bawah sadar daerah itu mirip dengan DIY, baik pantai, gunung, dan lain sebagainya. Disini, Jogja mulai mengenal imago dalam Tatanan Imajiner, tetapi ia mulai menjadi Subyek dalam Tatanan Simbolik.

Tatanan Simbolik dipenuhi dengan dimensi “bahasa”. Bahasa dalam Tatanan ini bersifat sebagai penanda, jadi tidak memiliki keberadaannya sendiri. Hanya menandakan apa yang bukan dirinya sendiri, yaitu yang lain, sehingga Tatanan Simbolik dipahami sebagai tempat bagi “yang lain”.Jika Tatanan Simbolik dikaitkan dengan “kebudayaan” – maka Tatanan Imajiner dikaitkan dengan “sifat alamiah”. Menghubungkan manusia yang satu dengan manusia lain. Subyek mulai memiliki hubungan dengan yang lain.Konsep mulai muncul. Konsep tentang waktu, sejarah, juga kesadaran akan kekinian dan harapan akan masa depan, yang direpresentasikan dalam acara regular “sekatènan”.

Dalam Tatanan ini kesadaran akan kematian juga mulai hadir, sehingga bahasa menjadi hal yang penting karenan bahasa muncul sebagai akibat dari “rasa kehilangan” – kehilangan “keistimewaannya”. Dengan dimotori oleh hasrat, sang SUBYEK mulai mengidentifikasikan dirinya, berupa misalnya, ingin terus mempertahankan “keistimewaannya”. Hasrat tidak sadar akan sesuatu yang hilang (keistimewaan), yang tidak dapat dijangkau (juga keistimewaan), dan akhirnya diproyeksikan dalam imago. Kegagalan untuk masuk ke dalam Tatanan Simbolik, menjadikan SUBYEK mengalami psikosis, karena sang Subyek tidak berhasil membentuk subyeknya sendiri yang terlepas dari “ibunya”, yaitu “keistimewaannya yang belum terformulasikan”. Oleh karena itu, pemerintah DIY kemudian menggelar Acara Jogya Semesta, Diskusi Budaya dan Gelar Seni yang diselenggarakan 35 hari sekali, pada hari wiyosan dalem, weton Hamengku Buwono X, yang jatuh setiap hari Selasa Wagé, yang kini sudah memasuki seri ke-74. Ini juga Tatanan Simbolik yang melemahkan Tatanan Riil karena keRiilan yang ditampilkan pada acara tersebut tidak mendapat ketindaklanjutan sehingga berhenti sebagai peristiwa sewaktu yang kemudian tidak ada tindak lanjutnya. Siapakah yang mestinya menindaklanjuti?

TATANAN RIIL

Tatanan ini bertindak sebagai pengaman, yang terbentuk secara pelahan, dan terus mengalami perubahan.Tatanan Riil, selalu kembali ke tempat yang sama dan bahwa Tatanan Riil adalah sesuatu yang “tidak mungkin”.Tatanan ini mendahului proses simbolisasi dan imajinasi. Ia terlepas dari Tatanan Simbolik, tetapi juga yang memungkinkan terjadinya Tatanan Simbolik.

Ada jurang dan lubang dalam Tatanan Simbolik yang terjadi karena adanya jurang antara bahasa dengan makna sesungguhnya. Dalam hal ini, Subyek tidak mungkin dikenali seutuhnya, karena selalu ada lubang dalam inti keberadaannya.Kerinduan dan keutuhan inilah yang menjadi obyek hasrat. Dalam simbolisasi, Subyek kehilangan Obyek dari hasrat ini. Bahasa tidak pernah berhasil mengekspresikan keutuhan, sehingga selalu ada gap yang tercipta, dan karena gap ini tidak terekspresikan, Subyek terus berbicara.

Dalam Tatanan Riil tidak ada bahasa, karena ada rasa kehilangan atau kekurangan atau ketidaksempurnaan. Dalam Tatanan ini yang ada hanyalah kepenuhan yang sempurna, keutuhan. Sehingga Tatanan ini melampaui bahasa dan tidak diungkapkan dengan bahasa. Tatanan ini terletak di luar, melampaui jaringan penanda-penanda.

Tatanan Riil adalah ketidakkemungkinan itu sendiri karena tidak mungkin untuk dibayangkan dan juga tidak mungkin dimasukkan dalam Simbolik, karena tidak mungkin diraih. Ia lahir begitu saja dalam bentuknya yang lagsung menguasai ruang dan waktu. Sèngsu, dagadu, Mirota, Raminten, gudeg, kota pelajar, sate klathak, bakpia, merupakan penanda Tatanan Riil yang begitu lahir langsung menjadi. Jadi ia bukan bahasa, melainkan subyek Riil yang membahasa dan begitu saja menjadi penanda.

Tatanan Riil adalah obyek dari kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan karena terjadinya sebelum proses simbolisasi, dan yang merangsang timbulnya hasrat. Hasrat yang lahir untuk survive. Mengapa sèngsu – danbukan saté jamu, atau rica guguk? Mengapa dagadu yang artinya “matamu” – yang lalu menjadi merek kaos yang sarat kejenakaan? Sebagai contoh:  “Udad-udud – ida-idu - léda-lédé, dagadu” – adalah sebuah bahasa yang diraih dari kebiasaan sehari-hari para pedagang kakilima di Malioboro. Ini kejeniusan menyiasati pasar dan itu terus-menerus dieksplorasi hingga menjadi keniscayaan yang tak terbatas, hanya dari sebuah kata “dagadu”. Tatanan Riil mendukung fantasi – dan fantasi melindungi Tatanan Riil ini. Tatanan Riil digambarkan sebagai apa “yang selalu kembali”, dorongan dari tanda-tanda, yang melaluinya kita melihat diri kita dikendalikan oleh prinsip kesenangan.

Pertemuan dengan Tatanan Riil ini terjadi dalam trauma. Tatanan ini terletak membentang dari trauma sampai ke fantasi, direpresentasikan melalui kejadian, suara, hal kecil dari kenyataan, yang membuktikan bahwa kita tidak sedang bemimpi. Tatanan Riil adalah yang mengatur kegiatan kita. Bisa ditarik kesimpulan, bahwa dalam Tatanan Riil ini membawa serta pengalaman-pengalaman masa lalu sejak zaman Pajang hingga Jogyakarta hari ini.

REKOMENDASI

Proses DIY membentuk subyek selama ini, merupakan perjalanan alamiah tetapi juga bisa ditarik ke wilayah rasionalitas. Rasionalitas ini bukan untuk melegimitasi DIY seperti apa adanya tanpa bisa disentuh naluri kekinian, tetapi justru merupakan sebuah upaya untuk menembus batas keunggulan. Persepsi-persepsi yang telah terbentuk pada Tatanan Imajiner, Tatanan Simbolik, maupun Tatanan Riil, bisa dijadikan sumber inspirasi untuk Jogyakarta pada suatu hari bisa menjadi Sekar Kedaton Taman Sari dunia. Upaya tersebut bisa dengan cara, misalnya, ditarik ke-masa laluan, dan diproyeksikan ke masa depan dalam bingkai Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Rumah TEMPA: Tinata Endah Mangayubagya Paringing Allah.

Daerah Istimewa Jogyakarta adalah given yang bukan saja memiliki keunggulan daerah, tetapi juga sejarah dan makna pada Arsitektur Kosmologi. Hubungan antara Merapi dan Pantai Selatan bukan sekadar cerita mitos, tetapi juga sebuah bangunan arsitektur kealamsemestaan yang tiada bandingnya. Keunggulan ini perlu disadari dan dijadikan momentum untuk DIY menata arsitektur kehidupan secara multidimensi. Dengan berbagai predikatnya itulah, Ngayogyakarta Hadiningrat pasti mampu mengidentifikasi diri dan kemudian memasuki galaksi kosmologi menuju pencerahan lahir batin _ awal akhir – alfa omega, dalam bingkai Manunggaling Kawula lan Gusti – menuju Sangkan Paraning Dumadi - yang ditandai dengan adanya Candi Rorojonggrang dan Candi Borobudur.

Rorojonggrang mengisyaratkan, bahwa manusia janganlah menjadi pelengkap penderita seperti patung Rorojonggrang yang merupakan pelengkap dari 999 patung yang sudah diciptakan Bandung Bondowoso. Kisah ini melahirkan sebuah ajaran Ratu Adil – yang bagi rakyat kecil menjadi sebuah terma “nrimo ing pandum” - menerima nasib – ia akan tetap sebagai tukang becak, tukang buruh panggul di pasar, tukang ngarit, dan pekerjaan remeh lainnya kecuali suatu hari sudah muncul Ratu Adil. – maka di saat itu derajadnya akan terangkat. Manusia juga jangan terkurung oleh egotisme seperti 1000 ksatria yang terkurung di Candi Borobudur. Dari mengeksplorasi kedua candi itu, kita bisa merumuskan makna Rumah Tempa. Selain DIY harus ditata indah misalnya dengan tata ruang dan arsitektur “sedulur papat lima pancer” – tetapi juga makna “tempa” sebagai “menempa” akal pikiran dalam bentuk program terarah lewat imago “kota pelajar”, ‘profesor turun ke sekolah” – menempa budi pekerti agar siapapun yang berada di Jogyakarta baik sekadar bersekolah, atau berdagang, atau sekadar melancong sehari dua hari, sepulangnya dari Jogya ada sesuatu yang membuat kebanggaan bagi dirinya. Ada self improvement dan lahir rasa respectkepada sesama sepulang dari Jogya.

DIY bisa merancang program untuk mentransformasikan kisah sukses di beberapa kecamatan yang menjadi kebanggaannya. Ada kambing peranakan etawa di Turi, ada pisang uter di Berbah, ada jambu Dalhari juga di Berbah, ada pemijahan arwana juga di Berbah, ada Desawisata Kembangarum di Turi, dan keunggulan-keunggulan lain – yang, itu semua bisa menjadi tempat destinasi para turis untuk belajar kearifan lokal dari warga yang telah putus harapan akibat gempa dan erupsi Merapi. Proses transformasi ini memungkinkan terjadinya asimilasi di semua bidang kehidupan, karena Jogyakarta memiliki potensi untuk memulainya.

Menembus Batas Keunggulan – Menjadi Sekar Kedaton Taman Sari Dunia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun