Mayoritas dari kita, mungkin, tidak asing dengan akronim LGBT. Ya, akronim yang melandasi gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender ini telah menuai polemik di berbagai negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh nilai dan norma yang disepakati oleh orang-orang di seluruh dunia, yaitu berpasangan berlainan jenis. Selain itu, norma dan nilai pada berbagai agama telah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
 Lebih lanjut lagi, dalil terkait permasalahan kesehatan juga menjadi alasan mengapa orang-orang sulit untuk menerima mereka. Itu semua menjadi restriksi tersendiri bagi kaum minoritas tersebut.Â
Mereka menjadi kesulitan dalam menjalani kehidupan mereka karena masih banyak yang menganggap hal tersebut abnormal. Tak jarang, mereka mendapatkan berbagai stigma, perlakuan bengis, dan diskriminatif.Â
Di Indonesia sendiri, orientasi menyimpang tersebut sangat tidak ditoleransi oleh mayoritas orang. Banyak variabel yang memengaruhi akseptabilitas tersebut, salah satunya kentalnya norma dan nilai agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.Â
Di negara lain, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa, LGBT sangat dihargai dan diakui. Bahkan, mereka melegalkan acara sakral, yaitu pernikahan untuk mereka.
Pelegitimasian pernikahan pada kelompok LGBT memberikan udara segar bagi mereka. Pasalnya, kelompok tersebut mendapatkan hambatan-hambatan luar biasa supaya bisa hidup bahagia bersama "teman hidupnya" seperti kelompok heteroseksual. Misalnya, di Finlandia, pertentangan pelegalan same-sex marriage ini dilakukan karena hal itu dapat membunuh masa depan anak.Â
Mereka beralasan bahwa figur ayah dan ibu sangat dibutuhkan, bukan dibesarkan oleh pasangan sesama jenis [2]. Payung hukum yang rendah juga menjadi constraint bagi mereka semua karena hal tersebut tidak diakui secara universal oleh banyak negara, agama, dan budaya. Oleh karena itu, hak asasi manusia juga tidak dapat menjadi standar pelegalan universal [10].
Selayaknya pasangan heteroseksual, pasangan sesama jenis juga tidak melupakan keinginan mereka untuk mempunyai anak. Namun, hal itu menjadi inhibisi kedua bagi mereka. Mereka terkendala dengan hal reproduksi yang memaksa mereka untuk mengambil tindakan lain, salah satunya adopsi [7]. Sayangnya, banyak negara juga belum melegalkan pengadopsian anak untuk mereka, salah satunya Hungaria [1]. Hungaria harus kehilangan poin dalam supremasi hak asasi manusia terhadap pasangan LGBT karena melarang pengadopsian anak.Â
Dengan alasan yang sama seperti penolakan di Finlandia, Hungaria menyatakan bahwa lembaga sosial, yaitu keluarga harus meliputi figur ayah dan ibu. PM Hungaria mengutarakan maksud tersebut supaya lembaga keluarga terlindungi secara intensif serta dapat melindungi anak-anak [1]. Di Indonesia sendiri, larangan pengadopsian anak telah diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 Pasal 13 huruf f tentang pelarangan pasangan sejenis untuk mengadopsi anak [14].  Alasannya adalah perkembangan terhadap psikologis anak [3].
Sebenarnya, apakah anak yang dididik dan dibesarkan di keluarga tersebut benar-benar memberikan diskrepansi signifikan pada kehidupannya dibandingkan di keluarga heteroseksual?Â