Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Aku akan Berbeda? Outcome Pengasuhan Anak pada Keluarga LGBT

5 Desember 2021   21:01 Diperbarui: 5 Desember 2021   21:41 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mayoritas dari kita, mungkin, tidak asing dengan akronim LGBT. Ya, akronim yang melandasi gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender ini telah menuai polemik di berbagai negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh nilai dan norma yang disepakati oleh orang-orang di seluruh dunia, yaitu berpasangan berlainan jenis. Selain itu, norma dan nilai pada berbagai agama telah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.

 Lebih lanjut lagi, dalil terkait permasalahan kesehatan juga menjadi alasan mengapa orang-orang sulit untuk menerima mereka. Itu semua menjadi restriksi tersendiri bagi kaum minoritas tersebut. 

Mereka menjadi kesulitan dalam menjalani kehidupan mereka karena masih banyak yang menganggap hal tersebut abnormal. Tak jarang, mereka mendapatkan berbagai stigma, perlakuan bengis, dan diskriminatif. 

Di Indonesia sendiri, orientasi menyimpang tersebut sangat tidak ditoleransi oleh mayoritas orang. Banyak variabel yang memengaruhi akseptabilitas tersebut, salah satunya kentalnya norma dan nilai agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. 

Di negara lain, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa, LGBT sangat dihargai dan diakui. Bahkan, mereka melegalkan acara sakral, yaitu pernikahan untuk mereka.

Pelegitimasian pernikahan pada kelompok LGBT memberikan udara segar bagi mereka. Pasalnya, kelompok tersebut mendapatkan hambatan-hambatan luar biasa supaya bisa hidup bahagia bersama "teman hidupnya" seperti kelompok heteroseksual. Misalnya, di Finlandia, pertentangan pelegalan same-sex marriage ini dilakukan karena hal itu dapat membunuh masa depan anak. 

Mereka beralasan bahwa figur ayah dan ibu sangat dibutuhkan, bukan dibesarkan oleh pasangan sesama jenis [2]. Payung hukum yang rendah juga menjadi constraint bagi mereka semua karena hal tersebut tidak diakui secara universal oleh banyak negara, agama, dan budaya. Oleh karena itu, hak asasi manusia juga tidak dapat menjadi standar pelegalan universal [10].

Selayaknya pasangan heteroseksual, pasangan sesama jenis juga tidak melupakan keinginan mereka untuk mempunyai anak. Namun, hal itu menjadi inhibisi kedua bagi mereka. Mereka terkendala dengan hal reproduksi yang memaksa mereka untuk mengambil tindakan lain, salah satunya adopsi [7]. Sayangnya, banyak negara juga belum melegalkan pengadopsian anak untuk mereka, salah satunya Hungaria [1]. Hungaria harus kehilangan poin dalam supremasi hak asasi manusia terhadap pasangan LGBT karena melarang pengadopsian anak. 

Dengan alasan yang sama seperti penolakan di Finlandia, Hungaria menyatakan bahwa lembaga sosial, yaitu keluarga harus meliputi figur ayah dan ibu. PM Hungaria mengutarakan maksud tersebut supaya lembaga keluarga terlindungi secara intensif serta dapat melindungi anak-anak [1]. Di Indonesia sendiri, larangan pengadopsian anak telah diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 Pasal 13 huruf f tentang pelarangan pasangan sejenis untuk mengadopsi anak [14].  Alasannya adalah perkembangan terhadap psikologis anak [3].

Sebenarnya, apakah anak yang dididik dan dibesarkan di keluarga tersebut benar-benar memberikan diskrepansi signifikan pada kehidupannya dibandingkan di keluarga heteroseksual? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun