Mohon tunggu...
Noor Cholis
Noor Cholis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Balada Ahok dan Kyai Partisan

3 Februari 2017   14:36 Diperbarui: 3 Februari 2017   14:49 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat perkembangan kasus ahok 2 hari ini membuat saya mengernyitkan dahi sekaligus dongkol bagaikan menonton sepakbola timnas skor 2-1 tiba-tiba kiper blunder dan kebobolan di menit-menit akhir.

Rentetan peristiwa pasca aksi damai 212 sebenarnya mengarah kepada kestabilan situasi dan berjalannya strategi "sabar dari kaki ke kaki" ala presiden Jokowi yang secara perlahan memperlemah FPI, GNPF-MUI dan teman-temannya. Pukulan demi pukulan yang diterima Habib Rizieq Shihab (HRS) dari berbagai kalangan yang melaporkannya dengan berbagai kasus sempat membuat FPI ciut dan HRS pun tak berani lagi berkoar-koar di media. Apalagi munculnya isu skandal perselingkuhan HRS-FH - terlepas itu benar ataupun cuma fitnah- telah membuat posisi HRS terjepit. Seolah-olah skor sudah menang 2-1 ditambah pemain timnas dijegal di kotak pinalti. Kitapun bersorak, kemenangan sudah di depan mata!

Namun apa yang terjadi kemudian? Ternyata tendangan pinalti tidak diberikan wasit, bahkan kemudian kiper timnas membobol bola ke gawang sendiri! Hehe itulah situasi yang mewakili perasaan saya.

Memang situasi di persidangan pasti penuh dengan tekanan fisik maupun mental. Apalagi yang dihadirkan adalah seorang ketua MUI, ormas yang bersama FPI menjadi pelopor mendorong duduknya Ahok di kursi pesakitan saat ini. Sayapun maklum dengan situasi ini. Barangkali dalam hati ahok berbisik: ini dia biang keroknya (itu barangkali lho hehe). Yang terjadi kemudian memang sesuai alurnya: Ma'ruf Amin dicecar berbagai pertanyaan sebagaimana saksi pada umumnya.

Apakah tim pembela Ahok salah? Tidak!

Dulu, mengiringi populernya istilah "lebaran kuda" SBY menggaungkan equality before the law, persamaan di depan hukum. Ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, maka seluruh tindakan harus berlandaskan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan secara hukum. Kemudian dalam BAB XA Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hukum tidak mengenal apa jabatan Anda, anaknya siapa Anda, Apakah Anda kiyai, menteri, presiden atau bukan.

Jadi sebenarnya tidak ada masalah apapun sampai di titik ini. Hanya, yang dilupakan Ahok and tim adalah bahwa pertarungan ini adalah juga pertarungan politik (walaupun banyak kaum titik-titik menyanggah ini), bukan cuma hukum. Tim lawan akan menggunakan segala cara dan lubang sekecil apapun untuk menyerang balik. Dan tidak tanggung-tanggung tendangan baliknya tidak saja mengarah ke Ahok, tapi sangat kelihatan berusaha menyundul-nyundul istana negara, cq presiden Jokowi.

Lihatlah kejadian selanjutnya. Menanggapi adanya bukti telepon SBY kepada KH. Ma'ruf Amin, SBY meminta Jokowi memberi penjelasan soal dugaan dirinya disadap. SBY walaupun tetap dengan kata-kata bersayap (menggunakan kata rekaman, transkrip, bukti) mengarahkan isu bahwa dirinya disadap. “Kalau institusi negara, Polri, BIN menurut saya, negara bertanggung jawab. Saya berharap berkenan Pak Presiden Jokowi menjelaskan dari mana transkrip penyadapan itu siapa yang bertanggung jawab.” itu kalimat SBY. Beliau dengan serta merta menyambar Jokowi dan menyimpulkan bukti yang menyangkut percakapan antara dirinya dengan Ma’ruf Amin adalah dari penyadapan. Dan oleh karena itulah bukti itu harus dianggap ilegal.

Situasi ini diperburuk dengan banyaknya kompor yang dalam posisi switch LPG nya on. Begitu ada percikan sedikit, langsung menyambar.Saya sebenarnya percaya, NU tak akan mudah terprovokasi, karena NU generasi sekarang saya yakin cukup matang karena hantaman turbulensi politik sejak orde reformasi dicetuskan, baik sebagai aktor maupun "korban". Ditambah kenyataan bahwa, ummat NU dan kalangan pesantren yang "waras" di alam bawah sadarnya sudah secara otomatis "memisahkan" KH. Ma'ruf Amin (dengan tidak mengurangi rasa hormat dan takzim santri kepada kiyai) dari kelompok ulama non partisan. Berarti ada kelompok ulama NU partisan? Banyak! Saudara saya sendiri sebagai contohnya, sebagai pengasuh sebuah pondok pesantren, sudah lama menjadi partisan dan beberapa kali mendukung calon kada, yang uniknya, dari berbagai latar belakang berbeda, tidak melulu dari NU, pesantren maupun PKB.

Fenomena ini terjadi di banyak daerah, dimana kyai yang jelas mempunyai pengaruh massa dimanfaatkan oleh para calon pilkada. Apakah ini salah? Tidak juga. Justru dari sinilah para kyai dan santri kebagian "berkah" pilkada hehe. Yang bikin salah bila kemudian para kiyai partisan ini mengeluarkan fatwa wajib memilih si A atau haram memilih si B. Aroma subyektifitas pasti kental sekali.

Jadi saya titip pesan (siapa saya?) kepada Ahok and Team, berhati-hati dan waspadalah. Sementara ini jaga omongan, tahan emosi, banyak meditasi. Tindakan meminta maaf dari Ahok saya kira sudah tepat, dan sudah mampu memadamkan percikan-percikan yang hampir terbakar, walaupun tidak semua. Ibarat sepakbola, skor sementara adalah 2-2, jangan sampai blunder menjelang injury time ini, tinggal 8 hari lagi bro!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun