Â
 Laporan Visual Capitalist baru-baru ini mengungkap perubahan dramatis dalam lanskap pemakaian ChatGPT global. Negara-negara berkembang kini mengambil porsi besar dalam lalu lintas (traffic) ke ChatGPT. Data Agustus 2025 menunjukkan bahwa total kunjungan situs ChatGPT mencapai 5,846 miliar per bulan menurut data SimilarWeb / Voronoi.
Dari total itu, Amerika Serikat menyumbang 15,1 % dari lalu lintas, menjadikannya pasar terbesar bagi ChatGPT pada bulan tersebut. Posisi kedua ditempati oleh India, yang menyumbang 9,3 % dari traffic global ChatGPT. Untuk Indonesia, laporan Visual Capitalist mencatat, Â bahwa negara ini termasuk kontributor signifikan, meskipun persentasenya lebih rendah dibanding AS atau India.
Lebih jauh, menurut posting di Instagram yang mengutip laporan tersebut, trafik dari AS tercatat sekitar 883 juta kunjungan (15,1 %), dari India sekitar 544 juta (9,3 %), sedangkan Indonesia juga disebut sebagai salah satu sumber trafik penting (dengan kunjungan ratusan juta).
Beberapa laporan alternatif menyebutkan angka persentase yang sedikit berbeda untuk Indonesia. Misalnya, menurut LitsLink, pada  Agustus 2025 Indonesia menyumbang 3,32 % dari kunjungan ChatGPT global. Sementara itu, DemandSage menyebut bahwa AS memegang 15,1 % lalu lintas dan India 9,42 %.
Adopsi AI generatif seperti ChatGPT yang cepat di negara berkembang ini tidak semata-mata soal teknologi, melainkan dipicu oleh kombinasi faktor demografi, ekonomi, dan budaya digital. Populasi besar dengan penetrasi internet yang tumbuh pesat menciptakan basis pengguna yang luas. Di India dan Indonesia, misalnya, semakin banyak orang yang memilki ponsel pintar  dan akses internet --- menjadikan penggunaan ChatGPT tidak hanya sebagai komoditas "teknologi tinggi", melainkan juga alat produktivitas sehari-hari.
Penelitian terbaru menunjukkan,  bahwa negara berkembang cenderung melewati lintasan adopsi yang lebih ramping dibanding transformasi digital sebelumnya. Studi dari Oxford Internet Institute pada 2025 menyatakan bahwa negara-negara seperti India dan Brasil mengalami adopsi AI generatif lebih cepat ketimbang transformasi era media sosial atau internet yang memerlukan investasi besar dalam infrastruktur lama. (Catatan: penelitian ini menjelaskan tren adopsi AI secara global, tidak spesifik untuk ChatGPT) Selain itu, studi tentang efektivitas regulasi AI menemukan bahwa pembatasan akses ChatGPT di negara tertentu kadang-kadang tidak efektif --- penggunaan tetap terjadi melalui jalur alternatif, terutama di kalangan akademisi dan peneliti.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan 2 hal. Pertama, meskipun AS masih menjadi pasar terbesar secara absolut, pertumbuhan ke depan kemungkinan besar akan lebih dipimpin oleh negara dengan jumlah pengguna digital besar dan meningkatnya penetrasi internet. India, dengan 9,3 %, telah mulai mengejar dengan cepat. Kedua, untuk negara seperti Indonesia, meskipun persentasenya berada pada kisaran beberapa persen, hal itu tetap menunjukkan posisi yang kuat dalam ekosistem AI global. Sebuah posisi yang bisa dikembangkan menjadi pusat inovasi lokal.
Namun tantangan tetap ada: regulasi data dan privasi, kualitas koneksi internet di daerah terpencil, serta literasi AI menjadi kunci agar pertumbuhan tidak hanya kuantitatif, tetapi juga berkualitas. Di masa depan, jika Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas lokal, baik dari sisi infrastruktur, riset, maupun talenta. Negara ini dapat berperan ganda: pengguna sekaligus  kontributor bagi arsitektur AI global. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI