Pada 11 Juli 2025, The Register melaporkan hasil mengejutkan dari studi yang dilakukan oleh organisasi nirlaba Model Evaluation & Threat Research (METR). Studi tersebut mengkaji dampak penggunaan alat bantu pemrograman berbasis AI terhadap produktivitas pengembang perangkat lunak berpengalaman. Hasilnya bertolak belakang dengan ekspektasi umum: alat AI justru memperlambat pekerjaan para developer senior saat mereka bekerja dengan basis kode yang sudah mereka kenal baik.
Sebanyak 16 pengembang open-source tingkat lanjut terlibat dalam studi tersebut dan menyelesaikan total 246 tugas pada repositori yang sudah familiar bagi mereka. Sebagian diberi akses ke alat AI seperti Cursor Pro yang menggunakan model Claude 3.5 atau 3.7 Sonnet, sementara sisanya diminta menyelesaikan tugas tanpa bantuan AI. Sebelum mulai, para peserta memperkirakan bahwa AI akan mempercepat proses kerja mereka sekitar 24 persen. Namun kenyataannya, penggunaan AI menyebabkan waktu penyelesaian yang justru lebih lama---yakni 19 persen lebih lambat dibandingkan kelompok tanpa AI.
Meskipun secara objektif terbukti memperlambat, para peserta tetap meyakini setelah eksperimen bahwa AI telah mempercepat mereka sekitar 20 persen. Ilusi percepatan ini disebabkan oleh kesan subjektif terhadap kenyamanan penggunaan AI, bukan hasil produktivitas nyata. Kenyamanan itu memang diakui oleh para peserta, yang merasa lebih rileks dan ringan karena seperti mengedit kode yang sudah ada ketimbang menulis dari awal. Akan tetapi, hanya 44 persen saran dari AI yang benar-benar diterima dan digunakan. Selebihnya, pengembang atau developer harus menghabiskan waktu tambahan untuk menulis prompt yang efektif, menunggu respons AI, atau memperbaiki keluaran yang kurang tepat.
Masalah utama tampaknya terletak pada konteks. AI cenderung memberikan saran yang secara garis besar masuk akal, tetapi kurang akurat ketika harus menyelami nuansa dari basis kode besar dan kompleks yang telah lama digunakan developer. Waktu yang terbuang untuk merevisi, menguji, atau bahkan mengabaikan hasil AI membuat kinerja justru menurun. Ini diperparah oleh waktu tunggu respons AI yang dalam tugas-tugas kecil bisa sangat merugikan. Oleh karena itu, dalam kasus developer berpengalaman yang sudah hafal struktur kode mereka sendiri, AI tidak menawarkan nilai tambah berarti.
Temuan ini tidak lantas menggugurkan nilai guna AI coding tools sepenuhnya. Justru, dalam berbagai studi sebelumnya, alat yang sama terbukti mempercepat pengembangan perangkat lunak secara signifikan dalam skenario berbeda, seperti pada developer pemula atau saat bekerja dengan kode yang baru sama sekali. Dalam studi lain, peningkatan kecepatan bisa mencapai 56 persen, dan peningkatan output hingga 26 persen. Artinya, efektivitas AI coding sangat kontekstual---tergantung pada siapa yang menggunakannya dan dalam situasi apa.
Meskipun hasil METR mencengangkan, adopsi AI di dunia pengembangan perangkat lunak masih sangat luas. Sebuah survei dari Jellyfish pada Mei 2025 mencatat bahwa 90 persen tim pengembang telah menggunakan AI secara aktif, dan sebagian besar melaporkan peningkatan produktivitas setidaknya sebesar 25 persen. Ini menunjukkan bahwa AI tetap punya tempat penting dalam ekosistem pengembangan modern, terutama dalam menghasilkan kode boilerplate, dokumentasi, atau eksplorasi solusi baru yang belum diketahui pengembang.
Studi METR ini memberikan pelajaran penting: kita tidak bisa menganggap bahwa AI selalu meningkatkan produktivitas. Evaluasi kontekstual, ekspektasi yang realistis, serta keterampilan dalam menggunakan dan menyaring output AI tetap menjadi faktor krusial. Bahkan teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan pengawasan dan akal sehat dari manusia. Yang lebih penting lagi, para developer dan perusahaan sebaiknya memahami bahwa AI bukanlah pengganti keahlian, melainkan alat bantu yang manfaatnya bisa sangat bervariasi tergantung pada konteks, kebutuhan, dan cara penggunaannya. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI