Begitu layar memudar dan pebalet dalam film  Ballerina menari keluar dari sorotan, para penonton sering kali dibiarkan dengan denyut adrenalin yang masih mengalir deras. Film itu bukan hanya aksi, tapi juga simfoni kemarahan, luka batin, dan estetika kematian yang nyaris puisi.
Penonton  yang haus akan nuansa serupa, ternyata masih ada 10  film yang bisa menjadi pelampiasan emosional dan visual selanjutnya---tanpa harus meninggalkan cita rasa unik Ballerina.
Mari mulai dari sebuah kota bernama Berlin, tepatnya di akhir era Perang Dingin. Dalam film Atomic Blonde, Charlize Theron memerankan agen MI6 dengan palet warna biru es dan pukulan besi. Setiap geraknya adalah koreografi brutal, nyaris seperti pertunjukan balet yang berdarah. Gayanya tidak hanya memukau---ia mendefinisikan ulang bagaimana kekuatan dan kecantikan bisa berdampingan dalam kekacauan.
Lompatlah jauh ke masa lalu Jepang feodal, tempat seorang samurai tak bernama berjalan di tengah konflik dua geng desa dalam Yojimbo. Film klasik Kurosawa ini bukan sembarang film aksi; ia seperti lukisan gerak yang mengajarkan bahwa diam bisa sekeras serangan, dan strategi bisa mematikan tanpa suara. Seolah-olah Ballerina adalah cucu spiritual dari pendekar ini.
Lalu, masuklah ke dunia No Time to Die. James Bond di sini tak lagi muda dan flamboyan, melainkan matang, lelah, namun tetap mematikan. Ada kegetiran dalam ledakan-ledakannya, mirip dengan luka emosional yang ditampilkan dalam Ballerina. Bond bukan hanya melawan musuh, tapi juga dirinya sendiri---dan itulah yang membuatnya relevan.
Jika kamu ingin sesuatu yang benar-benar eksperimental dan berdarah-darah, cobalah film Mandy. Nicolas Cage di sini seperti monster yang lahir dari patah hati, membelah dunia surealis yang penuh warna neon dan kekerasan primal. Film ini bukan sekadar ditonton, melainkan dialami---seperti halnya Ballerina yang membawa penonton ke jurang perasaan dan ledakan brutal sekaligus.
Kini saatnya menghadapi Alien. Aliens karya James Cameron mengusung Ripley, sang penyintas abadi. Pertempuran di film ini bukan hanya antara manusia dan monster, tapi antara trauma dan harapan. Ada kedalaman dalam cara Ripley bertarung, mirip dengan lapisan emosional sang penari pembunuh yang kita tinggalkan di Ballerina.
Bila ingin ledakan urban dan pencahayaan neon yang memabukkan, masuki dunia Dredd. Di kota Megacity One yang tak pernah tidur, hukum ditentukan oleh peluru. Dredd dan rekannya, Anderson, menjalankan peradilan di tempat, dengan koreografi tembak-menembak yang dingin namun indah. Sangat cocok bagi yang menginginkan kekerasan berbalut estetika kaku dan tajam.
Kita tentu tidak bisa kita bicara Ballerina tanpa menyebut semesta asalnya: John Wick: Chapter 3 -- Parabellum. Di sinilah sang balerina pertama kali muncul, dalam dunia tempat aturan dipatuhi dengan darah. John Wick menari di tengah badai peluru, dan Parabellum adalah klimaks dari semua keanggunan dalam kekacauan.
Namun jika ingin tahu dari mana semuanya berawal, arahkan pandangan ke The Matrix. Neo bukan hanya pejuang; ia adalah penari dalam dunia ilusi. Setiap adegan aksinya seperti rangkaian koreografi di panggung mimpi. Film ini menjadi cetak biru visual untuk semua aksi estetik modern---sebuah asal muasal yang juga memengaruhi DNA Ballerina.