Mohon tunggu...
Langit Amaravati
Langit Amaravati Mohon Tunggu... lainnya -

An author\r\nhttp://langit-amaravati.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Simpanan

3 Maret 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330739140582957613

Skylashtar Maryam

Saat ini, kebahagiaanku tak lagi penting.

Semestaku berhenti berotasi di satu poros. Kini aku memutari gugusan-gugusanmu bagai satelit timpang dan bingung. Sebab segala sesuatunya tertuju ke satu delta, yaitu kamu. Pernahkah kau rasakan?  Bagaimana udara bisa menginduksi sedihmu jadi partikel lain yang menyusup ke celah-celah selku.  Pedihmu membelah diri di dalamku, beranak pinak menjadi ribuan bahkan jutaan.  Dan sialnya, kau tak tahu itu. 'Aku mencintaimu...!' haruskah kata-kata ganjil itu kuteriakkan di hadapan semua orang? Atau di gendang telinga istrimu yang tak pernah mau berbagi. Andaikan rahim bisa ditransplantasi seperti jantung, kurelakan rahimku untuknya, untuk wanita yang setiap malam kau tiduri.  Sebab aku tak yakin akan jadi ibu dari anak siapapun, kecuali anakmu.  Tapi, apakah itu berarti banyak selain pengingkaran?

Selain sakit yang akan aku tularkan,

Pada perempuan dengan status sebagai istrimu, status yang teramat sangat

Aku inginkan.

*

"Entahlah. Barangkali aku sendiri saja untuk selamanya.Dua kali pernikahan cukup membuatku gila."

"Jangan bercanda! Aku tahu kamu tak bisa hidup tanpa laki-laki," ia meringis.

"Ya, aku bisa. Sepanjang kalian tidak dekat-dekat kepadaku," aku bosan jika ia sudah mulai menebak-nebak dengan raut sok tahu. Seakan kehidupanku ibarat sebuah panggung sandiwara dengan ia sebagai penulis skenarionya.

"Kamu akan kesepian."

"Siapa bilang?"

"Sekarang saja kamu sudah kesepian. Luntang-lantung tak karuan, ke mana-mana sendirian," senyum sinisnya.

"Aku tak perlu seseorang untuk menemaniku ke warnet atau makan malam kalau itu yang kamu maksud. Aku juga tak perlu seseorang untuk mengikutiku memutari toko buku dengan wajah memberenggut bosan.  Lagipula, aku sudah cukup punya banyak teman."

Ia tak mau menyerah. "Tapi kamu pasti bosan tidur sendirian."

"Hahahaha.... Itu tak perlu kamu khawatirkan.  Mati pun aku bakalan sendirian. Jadi apa bedanya?"

“Kamu sinis,” katanya.

“Biarin.  Sinis-sinis begini, kamu mau kok sama aku.”

“Itu lain urusan,” ia membuka minuman bersoda yang sejak tadi hanya ada di genggamannya.

“Lain urusan atau berusaha mengingkari kebenaran?” selidikku, mengambil minuman dari tangannya dan meneguk isi yang tersisa.

"Semua orang itu pasti mati, dikubur sendirian.  Nah,waktu kamu masih hidup bagaimana?"

"Kamu tahu kan kalau aku sudah jadi mahluk asosial.Aku menikmatinya. Kamu keberatan?" aku mulai kesal.

"Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri," ia menghembuskan nafas lalu beranjak, berdiri di tepi pagar sambil mengamati kerlip lampu di kejauhan."Kapan aku bisa melihatmu bahagia?"

"Bahagia? Kamu pikir aku tak bahagia sekarang?"

"Sepertinya tidak. Kamu tertawa terbahak-bahak, menebar senyuman setiap saat, dan bercanda. Tapi mata kamu masih sama sejak pertama kali kita bertemu.  Mata perempuan yang penuh luka dan selalu berada di tepian, memendam seluruh kecewa karena apa yang diinginkan tak pernah jadi kenyataan.  Sesederhana apapun keinginan itu."

"Heuh!  Bijaksana sekali cara kamu menggambarkan kehidupanku. Berada di tepian kamu bilang?Bukankah selama ini kamu yang membuatku selalu menepi?"

"Maafkan aku!"

"Tak usah, permintaan maaf kamu malah membuat aku makin sakit hati."

"Setidaknya aku sudah minta maaf."

"...."

"Kenapa?"

"Hhhh..." kukemas semua barang ke dalam tas.

"Mau kemana?"

"Pulang."

"Kapan kita bertemu lagi?"

"Kalau kamu sudah menceraikan istrimu, atau kalau dia sudah setuju aku jadi madunya."

Ia menatapku seolah-olah aku ini mahluk asing karena mengatakan itu.

"Aku tak boleh punya istri dua, kamu kan tahu itu," ia kembali duduk di kursi. “Kamu nggak boleh kemana-mana dulu.”

"Kalau begitu, nggak usah nyuruh-nyuruh aku menikah lagi."

"Di luar sana, masih banyak laki-laki baik yang tersedia untuk kamu."

Aku tergelak. "Dan semua laki-laki baik itu memakai label 'SUDAH ADA YANG PUNYA' di jidatnya."

Ia menggenggam jemariku. “Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu, ya?”

“Mana aku tahu?  Yang ngerasain kan kamu,” aku menggedikkan bahu, mataku pura-pura mengamati riak lautan di pinggiran pagar.

“Kamu adalah perempuan paling aneh yang pernah aku kenal,” bisiknya, seakan kata-kata itu bisa melukai telingaku.

“Itu bukan alasan yang tepat untuk menjelaskan kenapa kamu jatuh cinta sama aku.”

“Aku tahu, tapi aku pun tidak bisa menemukan alasan yang tepat kenapa aku bisa mengkhianati istriku dan menjalin hubungan dengan kamu bersama segala resikonya.”

“Hey, love no need a reason.”

“Jika cinta tak membutuhkan segala tetek bengek bernama alasan?  Lalu apa yang bisa menjelaskan hubungan kita ini?”

“Karena kalian para lelaki memenuhi syahwat untuk menjelajah ladang lain dan memaknai itu sebagai cinta.  Dari pertamanya juga persepsi kalian tentang cinta sudah salah.  Aku harus bilang apa lagi?”

Ia mendelik, bibirnya mengerucut.  “Kapan sih kamu berhenti jadi feminis yang selalu menghubung-hubungkan segala sesuatunya dengan gender?”

“Enak aja bilangin aku feminis.  Nih aku kasih tahu ya, kalau orang seperti aku jadi feminis, mungkin sudah dari dulu aku coming out jadi lesbi.  Nggak bakalan aku bela-belain kucing-kucingan ma istri kamu cuma untuk momen seperti ini.”

“Nah, mungkin seperti itulah tepatnya.  Aku mau sama kamu karena untuk ketemu aja kita harus banyak berpura-pura, harus kucing-kucingan, harus dikejar dan mengarang berbagai alasan.  Memicu adrenalin,” senyumnya sedikit terbit, seakan alasan yang ia kemukakan adalah penemuan terbesar milenium ini.

“Kalau cuma untuk menyalurkan adrenalin aja sih, mendingan kamu naek roaler coaster lima ratus kali atau ikut bungee jumping kek, ngapain harus selingkuh sama aku?  Resikonya nggak sebanding kali.”

“Iya juga ya?  Terus apa dong?”

Aku beneran kesal.  “Listen to me Aditya Wiguna Sang Pejabat Negara!  Yang jelas kamu nggak akan menemukan satu pun alasan yang tepat kenapa kita tetap meneruskan hubungan meski kita tahu hubungan kita ini tak akan bermuara kemana-mana.  Kamu nggak bakalan nikahin aku karena kamu nggak mungkin cerai dari istrimu dan nggak mungkin poligami.  Aku nggak mungkin nikah sama kamu karena aku tahu kalau kita tidak akan sehangat ini jika terikat erat oleh komitmen bernama pernikahan,” aku menarik nafas sebentar, mengumpulkan kekuatan, penjelasanku pasti bakalan panjang.  “Kita ini pendosa, budak asmara dan teman setianya yang bernama cinta.  Kita berdua juga sudah hafal betul kalau di antara kita tidak ada yang namanya cinta suci, semuanya imitasi.”

“Imitasi kamu bilang?  Enak aja,” sudah pasti ia tak akan setuju.

“Lho?  Lalu apa?”

“Kan kamu sendiri yang pernah bilang kalo cinta tidak pantas dikotak-kotakkan, tidak pantas diberi label, tidak pantas dikategorikan seperti dalam katalog.  Cinta ya cinta, asli, pure.  Lagian cinta aku sama kamu bukan imitasi, cinta aku sama kamu itu murni.”

“Kalau begitu, nikahi aku sekarang supaya aku punya bukti bahwa cinta kamu itu suci.”

Ia terdiam.  “Tapi cinta juga tidak harus memiliki, Chan.”

“Itulah kalian, selalu saja memiliki milyaran alasan untuk menghindar,” dengusku.

“Tapi aku cinta sama kamu,” genggaman jemarinya semakin erat.

Aku tergelak, nyaris mencibir seraya menepiskan tangannya.  “Coba aku tanya, kalau setiap kali kita ketemu aku nggak mau bercinta sama kamu, kamu masih bisa bilang cinta?  Kalau setiap kali kita ketemu kita cuma makan, atau nonton, atau jalan-jalan.  Kamu masih cinta nggak?”

“Aku cuma mau kamu bahagia, nggak peduli apakah kita harus bercinta setiap kali kita bertemu atau tidak.  Karena aku tidak bisa membahagiakan kamu melalui jalan pernikahan, maka aku mau ada orang lain yang melakukannya,” matanya menerawang ke langit-langit, suaranya terdengar sungguh-sungguh.

“Sikap kamu itu hanya segaris tipis dari tidak bertanggung jawab,” aku mendengus.

“Kamu sinis lagi.”

“Biarin!”

“Tapi aku tidak pernah merasakan bahagia jika sedang bersama istriku, sedangkan ketika bersama kamu, seluruh dunia seakan berisi tawa.”

“Karena dia mandul?”

“Jangan ngomongin itu lagi!”

“Jangan sakiti dia lagi dengan mencintai aku,” suaraku pelan ditelan geleguk nafas.

“Jangan bawa-bawa istriku di saat-saat seperti ini,” ia merenggut.  “Aku jadi makin malas pulang.”

Mataku menghujam matanya.  “Aku tidak akan berhenti membicarakan dia, karena dia adalah satu-satunya orang yang paling sakit jika kita berdua meneruskan ini.  Dia perempuan, aku juga perempuan.  Di antara kami tidak pernah ada dendam.  Semua ini salahku karena menginginkan apa yang dia miliki sekarang.  Meski aku tak pernah meminta seluruhnya dari dia, aku hanya meminta dia berbagi.  Tapi keinginan itu tetap menyakitkan.  Dan aku tak pernah mau melihat perempuan lain sakit,” aku hampir menangis.  Begitulah setiap kali kami bertemu.

"Sudahlah, ayo aku antar kamu pulang,” ajaknya.

*

Ia mengendarai mobil dalam diam. Aku hanya memandangi lampu-lampu jalan dengan perasaan penuh sesal. Perasaan yang selalu timbul jika kami bertemu, bersama untuk beberapa jam, kemudian ia mengantarku pulang.

"Mungkin sebaiknya kita tak usah bertemu lagi," suaranya pelan.

"Ya, barangkali sebaiknya kita tak usah bertemu."

Lalu aku diam.

*

Aku tak pernah tahu apakah keputusan yang kami buat untuk berpisah itu adalah benar ataukah sebuah kealpaan.  Yang aku tahu, berpisah darinya kerap menyakitkan namun sekaligus melegakan.  Mungkin ia benar bahwa mencintainya tidak berarti harus memilikinya; kalimat klise yang dulu selalu membuatku sakit kepala.

Aku perempuan dan dia juga perempuan.  Ia memiliki kesempatan untuk dipilih sedangkan aku tidak.  Ia punya laki-laki sebagai suami untuk melindungi sedangkan aku hanya punya laki-laki yang hanya punya kepentingan pada tubuhku tanpa kemauan besar untuk menikahi.  Ia berjalan di setapak berumput tebal, sedangkan aku mendaki bukit terjal.

Jika aku mempunya pilihan, aku akan memilih menjadi sepertinya.  Karena ia mempunyai pilihan, maka ia memilih untuk tidak jadi sepertiku.

**

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun