Pengalaman sudah membuktikan, atas kondisi tersebut, siapa pun yang melawan dan menggugat, tidak mudah mencari saksi. Masyarakat takut, ada intimidasi, maka enggan bicara, meski tahu bahwa yang mereka alami, tahu dan menjadi bagian dari skenario TSM adalah pelanggaran hukum.
Apa pun yang dilakukan dengan TSM sepertinya memang "nyambung" dengan sidang di Mahkamah yang waktunya dibuat terbatas. Hanya dalam hitungan hari, pemohon harus menyusun dalil, mengumpulkan bukti, menghadirkan saksi, dan memaparkan kasus secara utuh.
Dalam banyak perkara, tidak cukup untuk membongkar jaringan pelanggaran yang dilakukan secara TSM.
Sampai detik ini, nyatanya tidak pernah ada pembahasan perluasan waktu pembuktian, pembentukan unit forensik digital independen, perlindungan saksi, dan keterlibatan akademisi dalam pembuktian statistik. Apakah ini juga termasuk bagian dari produk TSM? Jawabnya, sepertinya mungkin.
Karenanya, saya banyak membaca berita di media massa, menonton di ruang diskusi, dan obrolan netizen, warganet di media sosial, bahwa perlawanan terhadap TSM tidak boleh hanya datang dari ruang sidang. Masyarakat sipil, media, dan organisasi terkait, dan lainnya agar pelanggaran yang dilakukan oleh kekuasaan tidak dibiarkan begitu saja. Sebab, demokrasi yang tidak sehat dan pelanggaran yang TSM di berbagai bidang, akan terus terjadi bila publik tidak ikut menjaga dan mengawalnya.
Apakah penentuan HKNI yang sepihak ada bau-bau TSM? Seperti kasus lainnya yang seolah dibiarkan oleh Presiden RI sekarang? Apakah Kapolri yang masih belum diganti, juga bagian dari program TSM? Dan, kasus-kasus lainnya di negeri ini?
Hemat saya, hal yang diprogram  secara TSM, bila dilawan dan digugat secara "natural". Maka, hasilnya sudah dapat ditebak. Pasti dikalahkan (bukan kalah).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI