Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di +62 Banyak Anak Banyak Rezeki, di Paris Punya Anak Biaya Mahal!

19 November 2023   22:02 Diperbarui: 19 November 2023   22:10 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat membuka salah satu halaman catatan harian saya, tertulis: "Hari ini. Paris. Pagi-siang, susuri jalan kota, potret kota dari Menara Eiffel, sisir aliran sungai Seine, dan ditutup makan siang di resto Chinois Thailandais. Siang-sore, kunjungi Musium Louvre, bercengkrama dengan lukisan Monalisa, memandangi Notre Dame Cathedral, cuci mata dan cuci gudang di Galeries Lafayette, dan santap malam di Chines Resto. Malam, Istirahat di Residhome. Alhamdulillah, sangat mengesankan. Mimpi yang terwujud." 

(Supartono JW. Paris28072011)

Catatan itu, selalu akan menjadi noktah perjalanan yang mengesankan, tidak lekang oleh waktu dan zaman. Di sisi lain, mengingat perjalanan di Paris, ada kisah yang juga tidak kalah mengesankan, yaitu menyoal tentang pemandu wisatanya.

Ringkas kisah, selama tiga hari di Paris, saya dan rombongan perjalanan, dipandu oleh seorang pramuwisata/pemandu wisata/tour guide asli orang Paris, Prancis. Sebut saja namanya Mrs. A. Menariknya, Mrs. A. Ini, ternyata dalam komunikasi tidak membolehkan saya berbicara dengan bahasa lain, selain bahasa Indonesia. Pasalnya, Mrs. A. sedang dalam Program melancarkan Kemampuan Komunikasi dengan Bahasa Indonesia.

Mrs. A. Sudah menikah dengan laki-laki bukan warga negara Prancis. Namun, yang unik, ternyata Mrs. A. dia dan suaminya tidak merencanakan untuk memiliki keturunan/anak. Bahkan, rekan-rekan di tempat kerjanya, yang sama-sama menjadi pemandu wisata, juga tidak ada yang menikah untuk memiliki anak. Rencana tidak memiliki anak, sudah dibicarakan kepada pihak keluarga masing-masing, sebelum mereka menikah. Mengapa? Jawabnya, simpel. Punya anak di Paris, biaya mahal. Penjelasannya panjang, saya catat. Apakah setelah 12 tahun, kisah ini masih berlaku di Paris? Ini kisah yang menarik bila dibaca oleh masyarakat Indonesia, mungkin?

Sebab, di Indonesia, kata orangtua zaman dulu, mungkin sampai sekarang, "Banyak anak, banyak rezeki". He he... . Mungkinkah ini karena kendala pendidikan? Atau lainnya? Bagaimana pemerintah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun