Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Tengah Pandemi Corona, Pemimpin dan Rakyat Kita Butuh Sastra dan "Nyastra"

2 Juni 2020   11:14 Diperbarui: 2 Juni 2020   11:32 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Ingat! Rakyat adalah badan dari pemimpin itu sendiri. Apabila rakyat hidup dalam kemiskinan, maka sesungguhnya pemimpin itu sendiri yang miskin. 

Tidak akan ada kebahagiaan apa pun yang didapat oleh pemimpin ketika rakyatnya diliputi kemiskinan. Dekat dengan sastra dan juga berkesenian harus menjadi adonan utama dalam pembangunan karakter bangsa. 

Kini, negeri kita benar-benar dalam krisis multidimensi yang diperburuk, diperpelik oleh timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, namun mengabaikan pembangunan inner beauty bangsa yang jauh dari sastra yang membuatnya beradab. 

Itulah deskripsi para pemimpin kita hingga saat ini. Bagaimana dengan manusia bernama rakyat? 

Rakyat tetap jauh dari sastra 

Untuk kondisi ini, maka saya tulis artikel "Menggumuli Sastra, Anda Berbudi". Apa masalahnya? Semua hal, apapun, sejak artikel itu saya tulis hingga kondisi teranyar saat ini, semua perkara dijadikan komoditi konflik di Indonesia? Perseteruan dari sisa Pilkada dan Pilpres, hingga kini terus menggelora dan membara. 

Para pemuja pemimpin, merasa di atas angin dan aman tak akan "diciduk" meski melakukan berbagai ujaran kebencian kepada lawannya, yaitu rakyat biasa yang protes dan mengkritik demi  mendambakan hidup dalam keadilan dan kesejahteraan. 

Siapa para pelaku yang tidak berbudi pekerti luhur itu? Yang dipastikan juga jauh dari kehidupan "nyastra?". Mereka adalah sosok mulai dari orang-orang yang belum mengenyam bangku pendidikan, lalu, manusia-manusia Indonesia yang terdidik dan golongan menengah ke atas hingga kaum elit, justru menjadi pelaku utama pemicu konflik dengan memanfaatkan media sosial dan perangkat digital lainnya. 

Untuk apa mereka ciptakan konflik? Konflik sengaja dicipta sebagai bagian dari skenario yang disebut taktik dan intrik. Lalu, taktik dan intrik inilah yang menjadi aktor utama dalam rangka membangun opini pembenaran, justifikasi dalam rangka memenangkan kelompok atau golongannya. 

Sungguh luar biasa, sutradara-sutradara di balik manajemen konflik melalui pintu-pintu taktik dan intrik ini. 

Akibatnya, menggaung kata-kata disintegrasi dan intoleransi bangsa. Aktor-aktor panggung politik di Indonesia dalam menciptkan skenario lalu menyutradarai dalam kehidupan nyata seolah sedang memainkan drama dalam panggung teater. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun