Mohon tunggu...
Timun Suri
Timun Suri Mohon Tunggu... "Make a lot of mistakes, Mistakes leads you to learning"

Mahasiswa yang menulis artikel bukan karena passion, tapi karena deadline yang mendekat. Menulis adalah cara saya bertahan hidup di dunia perkuliahan yang penuh tugas dan ujian. Jika Anda menemukan humor dalam tulisan saya, itu mungkin karena saya menulis sambil menangis. Hhe :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cermin Retakan Sistem Hukum di Era Digital "No Viral, No Justice"

6 Juni 2025   17:51 Diperbarui: 6 Juni 2025   18:01 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://impact-investor.com/wp-content/uploads/2022/06/iStock-12512625101.jpg

Di era digital seperti saat ini, media sosial merajai narasi publik. Publik sering merasa bahwa keadilan hanya ditegakkan jika sebuah kasus berhasil menjadi viral. Fenomena "No Viral, No Justice" telah menjadi nyata, kasus yang minim perhatian publik bisa tertunda entah sampai kapan akan direspons dan tak jarang tenggelam, sementara kasus yang masuk daftar trending topic di media sosial akan mendapat perhatian instant dari aparat dengan kilat. Padahal wewenang penegakan hukum seharusnya tidak bergantung pada tekanan opini publik, melainkan didasarkan pada bukti dan prosedur hukum yang sah. Ketimpangan ini pada akhirnya memperkuat stigma bahwa sistem hukum kita masih tebang pilih.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa fenomena ini mencerminkan lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, jika suatu kasus hanya mendapatkan perhatian setelah viral, maka ini menunjukkan bahwa hukum tidak ditegakkan secara objektif, melainkan berdasarkan tekanan publik. Bivitri menekankan pentingnya reformasi hukum untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya hadir bagi mereka yang memiliki akses ke media sosial atau kekuasaan, tetapi juga bagi mereka yang tidak terdengar suaranya. Begitu pula Guru Besar Hukum Universitas Soedirman, Hibnu Nugroho, menyoroti bagaimana kecepatan informasi mendorong aparat bereaksi, namun belum diimbangi komitmen untuk menindaklanjuti kasus dengan prinsip hukum yang solid. Media massa, menurutnya, memiliki peran penting sebagai pengawas. Namun, perannya rentan menjadi alat tekanan, bukan jembatan keadilan, bila tidak disertai etika jurnalistik dan verifikasi.

Dari sudut penegak hukum, Asisten Pengawasan Kejati Jambi, Helena Oktaviane, menyoroti sisi positif dan negatif fenomena ini. Ia mengakui bahwa viralitas bisa menjadi katalisator respons cepat, namun tanpa kontrol dan edukasi, publik bisa salah kaprah sehingga menyepelekan proses hukum yang valid. Menularnya opini viral bisa memicu penetapan tersangka prematur, bahkan mengabaikan asas legalitas dan fairness.

Kepatuhan terhadap hukum tidak seharusnya bergantung pada jumlah yang menyukai (like) atau membagikan (share) dari sebuah konten. Ketika viralitas menjadi pemicu utama, maka hukum kehilangan makna dasarnya sebagai instrumen keadilan yang netral, tidak diskriminatif, dan berdasarkan proses yang formal. Sebab, tekanan publik kadangkala menukar prosedur hukum dengan pertunjukan publik yang emosional.

Sebagai generasi intelektual, Mahasiswa memiliki peran strategis untuk membangun literasi hukum di kalangan teman dan masyarakat sekitar, mendorong diskusi publik, menghadirkan forum pengaduan, atau menginisiasi kampanye "justice for all", yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki keadilan tanpa peduli latar sosio-ekonomi. Hal ini adalah bagian dari langkah konkret, bukan sekedar tanggung jawab intelektual, tetapi komitmen moral. Jika kita membiarkan stigma "No Viral, No Justice" terus berkembang tanpa dibendung, sistem hukum bisa kehilangan legitimasi di mata rakyat.

Negara dan aparat hukum tak boleh tinggal diam, dan harus hadir untuk mewujudkan keadilan tanpa syarat, bukan keadilan berbasis trending topic. Sistem pengaduan harus dirancang agar respons hukum dapat merata, bukan cuma fokus pada kasus populer. Setiap tahapan perkara harus transparan, alasan penetapan tersangka yang jelas, kondisi bukti, putusan hingga eksekusi. Media wajib mempertahankan profesionalitas, bukan sekadar menjadi corong opini publik. Aparat hukum dan media harus memastikan bahwa hukum hadir tanpa perlu viral. Aparat harus berkinerja berdasarkan bukti dan prosedur, bukan tekanan massa. Hukum bukanlah panggung media, ia adalah fondasi keadilan. Dengan demikian, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat berfungsi sebagaimana mestinya, memberikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun