Globalisasi dan kapitalisme ibarat dua sisi mata uang. Sulit membicarakan globalisasi tanpa menyentuh kapitalisme, karena keduanya berjalan beriringan. Globalisasi memberi jalannya, sementara kapitalisme menjadi pengendara utama yang menentukan arah.
Â
Secara sederhana, globalisasi adalah proses keterhubungan dunia yang melampaui batas geografis, politik, dan budaya. Anthony Giddens (1990) menyebutnya sebagai intensifikasi hubungan sosial global.
Â
Di sisi lain, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang menekankan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan orientasi keuntungan (Marx, 1867). Ketika keduanya bertemu, terbentuklah pola baru yang sering disebut kapitalisme global.
Â
Salah satu bentuk paling nyata adalah apa yang disebut Shoshana Zuboff (2019) sebagai surveillance capitalism. Data pribadi mulai dari klik, like, komentar, hingga waktu tatapan layar tidak lagi sekadar jejak digital, melainkan komoditas bernilai miliaran dolar.
Â
Facebook, Google, TikTok, dan platform serupa seolah memberi ruang gratis untuk berkomunikasi, tetapi sebenarnya ruang itu penuh dengan kepentingan iklan dan algoritma yang mengutamakan profit.
Â
Akibatnya, komunikasi kita tidak lagi sepenuhnya demokratis. Konten edukatif sering tenggelam di bawah arus video hiburan yang lebih menguntungkan secara komersial. Bahkan, riset di Indonesia menunjukkan enam konglomerasi besar menguasai mayoritas media nasional. Artinya, apa yang kita lihat, baca, dan dengar sebagian besar telah "disaring" oleh logika pasar.
Â
Â
Sebagai mahasiswa, kita tentu tidak bisa menolak globalisasi. Justru globalisasi membuka peluang besar: kuliah daring dari kampus luar negeri, akses jurnal internasional, hingga kolaborasi lintas negara. Tetapi, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa kapitalisme membatasi akses itu bagi yang tidak punya modal.
Â
Di sinilah letak tantangan generasi kita. Kita harus mampu memanfaatkan globalisasi untuk memperluas pengetahuan, sekaligus mengkritisi kapitalisme agar tidak semakin menindas. Komunikasi seharusnya bukan hanya komoditas pasar, tetapi ruang untuk solidaritas, edukasi, dan keadilan.
Â
Maka, pertanyaan pentingnya: apakah kita akan membiarkan diri sekadar jadi konsumen pasif di jalan tol kapitalisme digital, atau berani mengambil peran sebagai pengendara kritis yang mengarahkan globalisasi menuju keadilan komunikasi?
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI