Saat pelajaran berlangsung, suasana kelas benar-benar hidup. Siswa dipanggil maju satu per satu, diminta menjelaskan kembali poin-poin yang ditampilkan di layar. Ada yang menjawab dengan lancar, ada yang terbata-bata, bahkan ada yang sama sekali lupa. Penulis tersenyum kecil menyaksikan itu semua, sebab justru di situlah keindahannya. Kelas berubah menjadi ruang belajar bersama, bukan sekadar tempat mendengar ceramah. Guru hadir untuk menenangkan siswa yang gugup, meluruskan jawaban yang keliru, dan membantu mereka mengingat kembali materi yang sudah dibaca. Sekitar enam puluh persen waktu pelajaran dihabiskan berhadapan dengan anak-anak yang sedang berjuang menyampaikan hasil belajarnya, sementara guru dengan sabar mendampingi mereka satu per satu.
Jika direnungkan lebih jauh, pola ini sejatinya sangat selaras dengan teori Action Research Kurt Lewin. Dalam pandangan Lewin, proses belajar itu ibarat sebuah siklus yang tak pernah berhenti. Ada tahap perencanaan yang dilakukan ketika guru menyiapkan strategi---misalnya dengan memberi materi lima hari sebelumnya. Lalu ada tahap tindakan, yaitu saat siswa benar-benar mempresentasikan pemahaman mereka di kelas. Setelah itu hadir tahap pengamatan, ketika guru melihat reaksi siswa: siapa yang lancar, siapa yang gugup, siapa yang belum menguasai. Dan akhirnya ada tahap refleksi, ketika guru mengevaluasi metode ini, lalu menyesuaikan strategi untuk pertemuan berikutnya.
Siklus itu berjalan terus-menerus, berputar seperti roda. Dan setiap kali roda itu berputar, guru selalu belajar sesuatu yang baru. Bukan hanya siswa yang sedang dibentuk, tetapi guru pun sedang ditempa untuk lebih peka, lebih sabar, dan lebih kreatif.
Dari pengalaman ini penulis merasa, betapa indahnya ketika teori bertemu dengan kenyataan. Kurt Lewin barangkali tidak pernah membayangkan bagaimana konsepnya diterapkan di sebuah kelas di Cirebon, dengan siswa-siswa yang penuh kepolosan. Namun nyatanya, apa yang penulis saksikan di lapangan menjadi bukti nyata bahwa teori bukan sekadar tulisan di buku. Ia hidup, tumbuh, dan terasa hangat dalam interaksi sehari-hari antara guru dan murid.
Segala perjalanan ini akhirnya membawa penulis pada satu titik kesadaran: bahwa setiap pengalaman adalah anugerah yang patut disyukuri. Pertama-tama, penulis ingin memanjatkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Allah Swt. Atas izin-Nya, impian masa kecil untuk menjadi seorang guru sempat terwujud walau hanya dalam masa PPL. Ada rasa haru, sebab di balik segala keterbatasan dan kegugupan, Allah selalu menghadirkan kemudahan dan kebahagiaan yang tidak ternilai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak sekolah MAN 2 Kota Cirebon yang telah membuka pintu dengan begitu hangat, memberikan ruang untuk belajar, berlatih, dan bertumbuh. Terima kasih kepada guru-guru pamong yang penuh kesabaran membimbing, mengarahkan, dan menegur dengan cara yang lembut namun mengena di hati. Tidak lupa, terima kasih kepada guru-guru lain yang turut membersamai, menularkan semangat dan teladan yang layak dijadikan pegangan.
Kepada teman-teman seperjuangan, penulis berhutang banyak atas tawa, dukungan, dan rasa kebersamaan yang membuat perjalanan ini terasa lebih ringan. Kepada dosen pembimbing lapangan, terima kasih atas bimbingan yang sabar, yang membuat langkah kecil ini lebih terarah. Kepada anak-anak kelas XI yang polos sekaligus penuh warna, terima kasih sudah menjadi guru bagi penulis dengan caranya sendiri. Dari mereka penulis belajar arti kesabaran, ketulusan, dan semangat yang tidak pernah padam.
Dan tentu, penulis juga ingin berterima kasih kepada diri sendiri. Terima kasih sudah berani melangkah, mencoba, sekaligus menerima segala kegugupan dan kekurangan. Sebab tanpa keberanian itu, pengalaman ini tidak akan pernah hadir dalam hidup.
Dalam momen reflektif ini, penulis teringat pesan Imam Al-Ghazali yang berkata: "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan." Kata-kata itu seakan menegaskan betapa pentingnya peran seorang guru, bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga menghidupkan amal di dalamnya. Pengalaman PPL ini akan selalu menjadi bagian yang indah dalam perjalanan hidup penulis. Ia bukan hanya tentang bagaimana cara mengajar di kelas, melainkan juga tentang bagaimana menjadi manusia yang belajar bersyukur, belajar bertanggung jawab, dan belajar mencintai peran kecil dalam membangun masa depan negeri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI