Gelar Sarjana: Stereotip Sukses Seseorang
Apabila kita mencermati pertumbuhan generasi muda era virtual reality, kita akan dengan mudah menemukan kreasi digital di jagat maya yang berisi ajakan untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Hal ini kontras dengan generasi awal internet, sekitar 2 dekade lalu, motivasi untuk melanjutkan pendidikan berasal dari latar belakang keluarga.
Bagi mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, menjadi sarjana bukanlah prioritas sebagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Generasi di awal tahun 2000-an berkuliah karena dorongan yang kuat untuk mengikuti promosi di tempatnya bekerja.
Saat itu, kualifikasi penerimaan calon pekerja tidak selalu menuntut adanya gelar di belakang nama. Rata-rata generasi muda di tahun 2000-an hanya menyandang gelar diploma dengan masa pendidikan paling lama tiga tahun.
Di masa sekarang, dimana pertumbuhan raksasa industri modal merangkak naik, prioritas hidup seseorang pun berubah. Agar dapat bekerja di perusahaan ternama dengan posisi staf, generasi muda paska pandemi rela berbondong-bondong mengikuti berbagai seleksi demi bisa berkuliah di kampus yang terafiliasi dengan korporat ternama.
Gelar sarjana yang kelak diperoleh dari hasil belajar selama 4 tahun akan menjadi pendongkrak status sosialnya di kalangan pegawai. Hal ini tidak hanya berhenti pada jenjang pendidikan Strata-1, tetapi juga menularkan efek domino yang sama ketika seseorang melanjutkan pendidikan bahkan hingga ke jenjang doktoral.
Pergeseran motivasi seseorang untuk berkuliah saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan teknologi. Pesatnya kemajuan teknologi di era digital dapat menstimulus kampus-kampus untuk mulai berbenah diri dengan adanya pembaruan dalam hal layanan informasi dan komunikasi.
Dapat kita amati, setelah pandemi kampus menawarkan berbagai pilihan belajar yang fleksibel dan sesuai dengan kesibukan mahasiswa. Generasi muda di awal tahun 2000-an masih merasakan berkuliah sama halnya dengan pergi ke sekolah.
Saat ini, setiap kampus sudah memiliki jaringan dan alamat maya yang dapat diakses dimanapun dan kapanpun, bahkan saat mahasiswanya sedang bekerja.
Kemajuan ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena pada dasarnya setiap penawaran pasti menghasilkan kebutuhan baru. Jika dibandingkan dengan generasi 2 dekade lalu, jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi mahasiswa baru jauh berbeda dengan kondisi sekarang.
Munculnya kebutuhan-kebutuhan yang mendukung aktivitas akademik itulah yang menyebabkan melonjaknya nilai Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau dalam bahasa sehari-hari kita sering menyebutnya SPP. Lantas, bagaimana generasi mendatang akan mengejar tingginya UKT dan rendahnya daya serap perusahaan untuk posisi non-sarjana?