Mohon tunggu...
Siti Fatimah azzahra
Siti Fatimah azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hallo kenalin namaku Siti Fatimah,Mahasiswa Semester 3 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Saizu Purwokerto Saya seorang mahasiswa yang penuh semangat dan cinta terhadap dunia komunikasi. Saat ini, saya sedang menempuh pendidikan di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Saizu Purwokerto. Passion saya terletak pada menyebarluaskan informasi dan nilai-nilai positif melalui media. Di blog ini, saya akan berbagi berbagai perspektif tentang komunikasi, dakwah, dan isu-isu terkini yang relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Saya percaya bahwa komunikasi yang baik dapat membangun jembatan antar budaya dan mempromosikan pemahaman yang lebih dalam. Mari berdiskusi dan berbagi pengetahuan bersama! Ikuti perjalanan saya di dunia komunikasi dan dakwah, dan jangan ragu untuk memberikan komentar atau saran. Terima kasih telah mengunjungi blog saya!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Pick Me di Kampus Haus Validasi Bernama Citra Diri

23 Juli 2025   12:08 Diperbarui: 23 Juli 2025   12:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Budaya "pick me" sering kali dianggap hal sepele, hanya lelucon yang berseliweran di media sosial. Tapi kalau diamati lebih dalam, budaya ini tumbuh nyata dan cukup meresahkan di lingkungan kampus. Ia menjelma dalam bentuk sikap, ucapan, dan gaya bergaul yang penuh sandiwara, demi satu tujuan: diakui dan dianggap spesial oleh orang lain.

Istilah "pick me" sendiri biasanya digunakan untuk menggambarkan orang yang berusaha tampil berbeda atau lebih baik dari kelompoknya agar terlihat lebih pantas, lebih unggul, atau lebih layak dipilih entah oleh dosen, organisasi, atau bahkan lawan jenis. Sering kali, usaha ini dilakukan dengan cara yang merendahkan orang lain secara halus atau menyudutkan kelompok tertentu.

Contoh paling umum di kampus adalah mahasiswa yang mengatakan, "Aku sih nggak kayak mahasiswa lain yang cuma datang-duduk-pulang, aku mah aktif banget di organisasi," atau mahasiswi yang berkata, "Aku mah lebih suka nongkrong sama cowok, soalnya cewek-cewek tuh drama semua." Kedengarannya sepele, tapi di balik kalimat seperti itu ada semacam kebutuhan untuk dianggap berbeda dari yang lain dan merasa lebih baik karenanya.

Fenomena ini muncul karena lingkungan kampus memang sangat kompetitif. Kampus sering kali jadi ruang pembuktian diri: siapa yang paling aktif, siapa yang paling pintar, siapa yang paling punya jaringan, atau siapa yang paling disukai dosen. Dalam kasus seperti ini, keinginan untuk tampil menonjol sangat besar. Maka tak heran jika banyak mahasiswa yang mulai menyesuaikan diri secara ekstrem demi diterima atau "dipilih". Selain itu, media sosial juga memberi andil besar. Banyak mahasiswa merasa harus menunjukkan sisi idealnya ke publik. Feed Instagram harus rapi, status WhatsApp harus berisi quotes bijak, dan setiap kegiatan kampus harus diposting biar terlihat "sibuk dan produktif". Tanpa sadar, banyak dari kita hidup dalam pencitraan, bukan kenyataan. Dan budaya pick me adalah salah satu bentuk pencitraan yang paling halus.

Sayangnya, budaya ini bukan cuma soal gaya bicara atau gaya hidup. Ia bisa berdampak langsung pada relasi sosial. Ketika seseorang terlalu fokus membangun citra, ia akan lebih sering membandingkan diri dengan orang lain, bahkan tidak segan menjelekkan kelompok tertentu demi menaikkan citra dirinya. Ini membuat hubungan antarmahasiswa menjadi tidak sehat, penuh persaingan, dan minim empati.

Mahasiswa yang tidak sesuai dengan standar "ideal" versi pick me sering kali jadi korban sindiran halus atau pengucilan. Anak kelas yang pendiam dianggap tidak aktif. Mahasiswa yang tidak ikut organisasi dianggap tidak berkembang. Mahasiswi yang tampil fashionable dianggap tidak serius belajar. Semua itu muncul karena standar yang dibentuk bukan berdasar nilai sejati, tapi berdasar persepsi palsu yang dibangun lewat pencitraan.

Di sinilah pentingnya refleksi. Kita harus berani bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar jadi diri sendiri? Atau kita hanya sedang berusaha menjadi sosok yang disukai orang lain?

Tidak ada yang salah dengan ingin terlihat baik, tapi akan bermasalah jika keinginan itu membuat kita kehilangan jati diri, atau malah menjatuhkan orang lain. Menjadi aktif, produktif, atau tampil percaya diri adalah hal yang baik selama itu tumbuh dari keaslian diri, bukan demi validasi semu.

Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat yang ramah dan aman untuk semua karakter mahasiswa. Baik yang aktif maupun yang biasa saja, baik yang tampil maupun yang kalem, semuanya punya hak yang sama untuk tumbuh dan belajar. Budaya pick me, jika terus dibiarkan, hanya akan memperlebar jarak antarmahasiswa dan memperkuat standar sosial yang palsu.

Kita semua pernah, atau mungkin masih, jadi "pick me" dalam bentuk tertentu. Tapi menyadarinya adalah langkah awal untuk berubah. Kita tidak perlu menjadi "yang paling dipilih" untuk merasa berharga. Yang lebih penting adalah memilih diri sendiri: menerima kekurangan, merayakan keunikan, dan tumbuh menjadi versi terbaik dari diri sendiri tanpa harus menjadi bayangan dari standar orang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun