Mohon tunggu...
siti asyiva
siti asyiva Mohon Tunggu... Mahasiswa FITK PAI UIN JKT

Orang yang pintar bakalah kalah sama orang yang rajin.

Selanjutnya

Tutup

Book

Refleksi dan Evaluasi pendidikan dengan meningkatkan kualitas pendidikan

13 Oktober 2025   11:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:57 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

              Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum ini berfungsi sebagai rencana operasional dalam dunia pendidikan yang menentukan apa yang di ajarkan.

               Sejak kemerdekaan, kurikulum di Indonesia telah berganti lebih dari 10 kali, menunjukkan upaya berkelanjutan untuk mencari formula pendidikan terbaik. Beberapa kurikulum utama meliputi:

  • Rentjana Pelajaran 1947: Kurikulum pertama pasca-kemerdekaan, fokus pada pendidikan watak dan kesadaran bernegara.
  • Kurikulum 1968: Lebih bersifat politis, menekankan pembinaan Pancasila dan pengetahuan dasar.
  • Kurikulum 1984: Dikenal dengan pendekatan Keterampilan Proses (Cara Belajar Siswa Aktif - CBSA).
  • Kurikulum 1994: Upaya memadukan K-1975 dan K-1984, namun dinilai terlalu padat.
  • Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004: Mulai fokus pada pencapaian kompetensi.
  • Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006: Sekolah/guru diberi wewenang lebih besar dalam menyusun silabus (desentralisasi).
  • Kurikulum 2013 (K-13): Menekankan pada pendekatan saintifik dan penilaian empat aspek (sikap, pengetahuan, keterampilan).
  • Kurikulum Merdeka (2022): Berfokus pada penguatan Profil Pelajar Pancasila dan fleksibilitas.

              Kurikulum di Indonesia selalu berupaya untuk adaptif dan relavan. Tetapi, sering kali menghadapi tantangan besar dalam hal konsistensi, implementasi yang merata, dan kesiapan sumber daya manusia (guru) di lapangan.

              Poin utama tentang dinamika kurikulum di Indonesia, fokus pada kurikulum merdeka dengan melalukan

  •  perubahan yang dinamis. (namun rentan terhadap inskonsistensi) dengan perubahan ini melahirkan aspek aspek positif yaitu: mencerminkan untuk merespons tuntunan zaman yang terus berubah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta kebutuhan peserta didik pada masa kini hingga masa depan. Kurikulum idealnya memang harus dinamis. Perubahan ini juga melahirkan sisi negatifnya: dengan frekuensi perubahan kurikulum yang tinggi sering kali menimbulkan stigma "ganti menteri, ganti kurikulum" hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dikalangan guru dan sekolah. Penerapan yang terburu- buru, tanpa evaluasi komprehensif terhadap kurikulum sebelumnya dapat membuat guru dan siswa merasa menjadi "kelinci percobaan".
  •  Potensi dan tantangan fleksibilitas kiri merdeka. Kurikulum ini dimulai sejak tahun 2022, dengan upaya penyederhanaan dari kurikulum sebelumnya dan menekankan pada fleksibilitas pendalaman materi (fokus pada materi esensial), serta pengembangan karakter melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
  •               Kurikulum terjadi perubahan berkali- kali, Meskipun memiliki niat yang baik, implementasi kurikulum di Indonesia, termasuk Kurikulum Merdeka, sering kali menghadapi kendala klasik:
  • Kesiapan guru dan Infrastuktur, banyak guru belum sepenuhnya siap dengan perubahan pendekatan mengajar yang lebih fleksibel dan berbasis proyek. Selain itu, tidak semua sekolah terutama di daaerah terpencil, memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung metode pembelajaran yang inovatif.
  • Pergantian yang terlalu cepat. Sejak kemerdekaan, Indonesia sudah berulang kali mengganti kurikulum. Perubahan yang terlalu sering ini sering kali membuat sistem pendidikan tidak memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi dan mengevaluasi efektivitasnya secara menyeluruh, sehingga gagasan-gagasan baik dari kurikulum sebelumnya belut  sempat terealisasi dengan baik.
  • Beban administratif. Perubahan kurikulum sering kali diikuti dengan beban administrasi baru bagi guru, seperti penyusunan rencana pembelajaran yang lebih kompleks, yang bisa mengalihkan fokus dari inti pengajaran.
  • Standarisasi dan kesenjangan. Fleksibilitas yang tinggi dapat beresiko menciptakan ketimpangan kualitas pendidikan. Sekolah yang memiliki sumber daya lebih baik bisa mengimplementasikan kurikulum ini dengan optimal, sementara sekolah lain mungkin tertinggal.
  •        Secara keseluruhan, kurikulum di Indonesia memiliki tujuan yang mulia untuk menciptakan generasi yang lebih relevan dan siap menghadapi tantangan global. Namun, tantangan terbesarnya adalah pada implementasi di lapangan, di mana kesiapan sumber daya manusia (guru) dan ketersediaan sarana-prasarana menjadi kunci utama untuk menjembatani kesenjangan antara teori yang ideal dan realita yang ada.
  •        Sejauh mana kurikulum pendidikan di Indonesia telah mencerminkan tujuan pendidikan Islam adalah topik yang kompleks dan memiliki beragam sudut pandang. Secara umum, bisa dikatakan kurikulum nasional telah berupaya mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan, termasuk Islam, tetapi tidak secara penuh mencerminkan tujuan pendidikan Islam yang holistik.
  •        Sisi kesesuaian antara kurikulum nasional dengan kurikulum islam:
  • Dimensi Akhlak dan Karakter. Kurikulum nasional, terutama Kurikulum Merdeka, sangat menekankan pada pembentukan karakter. Salah satu dimensi utama dalam Profil Pelajar Pancasila adalah "Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia."  Elemen ini sangat sejalan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu membentuk insankamil yang memiliki akhlakul karimah (akhlak mulia), baik dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam.
  • Pengakuan Lembaga Pendidikan Islam:
  • Pemerintah melalui Kementerian Agama juga memiliki kurikulum sendiri untuk madrasah dan pondok pesantren. Hal ini memberikan ruang bagi pendidikan Islam untuk berkembang sesuai dengan karakternya, sementara tetap diakui dalam sistem pendidikan nasional.
  •               Sisi tantangan dan kesenjangan:
  • Dikotomi Ilmu Pengetahuan. Pendidikan Islam bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu duniawi dan ukhrawi. Namun, kurikulum nasional cenderung memisahkan antara mata pelajaran umum dan agama. Ilmu-ilmu umum sering diajarkan tanpa landasan tauhid, sementara mata pelajaran PAI terkadang terisolasi dari mata pelajaran lain. Hal ini berbeda dengan pendekatan integralistik di banyak pesantren, yang menggabungkan pembelajaran ilmu agama dengan ilmu umum.
  • Kurikulum "Sempit" vs "Luas". Dalam pendidikan Islam, kurikulum tidak hanya terbatas pada pelajaran di kelas, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan santri di lingkungan pesantren, mulai dari cara berinteraksi, beribadah, hingga melayani masyarakat. Kurikulum nasional di sekolah formal cenderung lebih terbatas pada lingkungan sekolah dan jam pelajaran.
  • Secara ringkas, kurikulum di Indonesia telah mengadopsi elemen-elemen penting dari tujuan pendidikan Islam, terutama dalam hal pembentukan karakter dan akhlak. Namun, masih ada tantangan dalam hal integrasi penuh antara ilmu pengetahuan umum dan agama, yang menjadi esensi dari pendidikan Islam. Peran lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti pesantren, tetap sangat relevan dalam mengisi celah ini dan menyediakan model pendidikan yang lebih holistik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun