Mohon tunggu...
siti maesaroh
siti maesaroh Mohon Tunggu... Perawat/Penulis/Digital Marketing

Penulis lepas, pengamat relasi, dan penggemar kisah cinta yang membumi. Menyuarakan realita lewat tulisan, dari pengalaman personal hingga fenomena sosial terkini. Menulis adalah caraku memahami dunia dan menyembuhkan luka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Ayah dalam Merawat Bayi dan Ibu Pasca Bersalin: Memutus Budaya Patriaki yang Merugikan Perempuan

5 Agustus 2025   08:16 Diperbarui: 5 Agustus 2025   08:16 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit by: pexels.com

Di banyak wilayah Indonesia, khususnya daerah yang masih kuat menganut budaya patriarki, peran ayah dalam merawat bayi dan mendampingi istri pasca melahirkan masih dianggap tabu, bahkan tidak dianggap sebagai kewajiban. Istri melahirkan dianggap sebagai tugasnya sendiri, dan merawat bayi adalah urusan ibu. Sementara itu, suami tetap hidup seperti biasa, bekerja, tidur nyenyak, bahkan kadang justru menghindar dari rumah dengan alasan istri masih dalam masa nifas.

Sebagai seorang perempuan yang tinggal di lingkungan seperti itu, saya menyaksikan sendiri dan merasakan sendiri betapa melelahkannya terjebak pernikahan dengan keluarga patriaki dan banyak perempuan yang menjalani masa-masa pasca persalinan dengan beban yang sangat berat. Mereka baru saja melahirkan---mengalami rasa sakit luar biasa, tubuh yang lelah dan perubahan hormon yang ekstrem---namun tetap harus mengurus bayi sendirian, begadang tiap malam, menyusui, memandikan, menenangkan saat menangis, tanpa bantuan pasangan.

Lebih menyakitkan lagi, banyak suami yang bersikap dingin dan acuh tak acuh. Mereka merasa tugas mereka sudah selesai ketika biaya persalinan sudah dibayar. Bahkan, ada yang jarang pulang karena merasa jijik atau tidak nyaman karena istri sedang dalam masa nifas. Dan ada juga yang diam-diam menikah lagi karena tidak kuat menahan nafsu nya. Sebagian juga berdalih bahwa ibu mereka (mertua sang istri) lebih berhak mengurus cucunya ketimbang istri sendiri.

Inilah wajah patriarki yang sesungguhnya: sebuah sistem yang membuat laki-laki dimanjakan, dan perempuan dituntut untuk kuat tanpa dukungan.

Budaya yang Diwariskan Lewat Mertua

Sayangnya, budaya ini terus dilestarikan oleh perempuan itu sendiri---para ibu mertua yang membesarkan anak laki-lakinya sebagai "raja". Mereka tidak membiasakan anaknya mencuci piring, menyapu rumah, apalagi menggendong bayi. Ketika sang anak menikah, mereka menuntut menantunya untuk melayani putra mereka seperti raja, bahkan di tengah masa nifas sekalipun.

Alih-alih mendukung sang menantu, mertua justru bisa menjadi sumber tekanan yang luar biasa. Tidak sedikit ibu mertua yang mencibir menantu karena dianggap lemah, lamban, atau tidak becus merawat bayi. Padahal, si menantu itu baru beberapa hari lalu bertaruh nyawa untuk melahirkan cucunya ke dunia.

Mengapa Harus Diubah?

Perempuan berhak mendapatkan dukungan fisik dan emosional setelah melahirkan. Ini bukan hanya soal keadilan gender, tapi juga soal kesehatan mental dan keselamatan ibu dan bayi. Depresi pasca persalinan bisa menimpa siapa saja, dan peran ayah dalam mendampingi sangatlah penting untuk mencegah hal itu.

Ayah yang ikut terlibat dalam pengasuhan sejak dini juga memiliki hubungan emosional yang lebih kuat dengan anak. Mereka lebih sadar akan tanggung jawab, lebih menghargai perjuangan ibu, dan membentuk ikatan keluarga yang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun