Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Roh Natal

16 Desember 2009   17:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:54 2863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Natal adalah suka-cita. Sebuah kado istimewa telah dikirim Tuhan sekitar 2000 tahun yang lalu: Bayi Kristus, bayi yang menyambung langsung silaturahmi manusia penuh dosa, siapapun itu, dengan Tuhan yang tak pernah terjangkau oleh semua daya manusiawi kita.

Kelahiran Kristus telah diramalkan ratusan tahun sebelumnya, ditunggu beberapa generasi lamanya. Dalam penantian yang begitu lama, harapan untuk mendapat kado itu tak pernah putus atau berhenti. Tanda-tanda bahwa Tuhan tidak ingkar janji terus dikumandangkan melalui banyak Nabi sebelumnya. Tetapi anehnya, ketika hari itu tiba, justru tak banyak orang menyadarinya.

Orang selalu berpikir, bahwa seorang Raja besar pasti lahir di tempat VVIP, serba “wah” dan “glamour”, bertaburan bintang dan musik Surga. Tak tahunya logika itu malah dijungkir-balikkan total. Yesus lahir di kandang domba, bertolak belakang dengan tempat dan suasana elite, malah “keterlaluan” miskinnya.Maka tak heran tak ada yang peduli, kecuali para gembala sederhana yang kebetulan ada disitu dan bapak-ibunya sendiri yang juga sedang susah menghindar dari kejaran Raja Herodes yang sungguh merasa “tersaingi” dengan segala ramalan tentang kelahiran “Raja besar” itu.

Jaman sekarangpun, bahkan ketika kenyataan “Yesus itu sangat sederhana” sudah diketahui banyak orang, banyak manusia masih tidak peduli dan “tidak bisa menerima” kenyataan yang seperti itu. Coba lihat, mulai dari rumah umat Kristen dan Katolik sendiri dan gereja, apalagi mall-mall besar di pertokoan, rata-rata merayakan Natal dengan luar biasa “glamournya”. Hiasan pohon Natal dan asesorisnya itu bisa sampai menghabiskan duit puluhan juta sepohonnya! Tak kalah gilanya hampir semua gereja dimanapun tak mau ketinggalan pasang hiasan yang ajubilah…, keren abisss…! Dana khusus yang cukup besar harus sengaja disisihkan untuk menyambut semua perayaan itu. Entah bagaimana perasaan Yesus sendiri, saya tak bisa mewawancaraiNya. Yang jelas, Dia sudah cukup memberi contoh dan tak mau banyak omong lagi.

“He..he..he.., Pak Sis ini ada-ada saja, bikin malu gue aja. Katanya suka-cita, tanpa pesta ya garing atuh.” Saya dengar suara anda, masih syukur kalau pakai “he..he..he..”, jangan-jangan malah marah kena tembak kritikan.

Saudara yang saya kasihi, pesta tidak perlu berlebihan, yang paling penting adalah “esensinya mengena”. Roh Natal adalah “Solidaritas”, dimana “Tuhan Yang Maha Tinggi” mau merendahkan diri bergaul langsung dengan manusia yang “kecil dan penuh dosa”, bahkan manusia yang tersisihkan. Akhirnyapun ternyata tidak hanya “mau bergaul”, tetapi malah “berkorban habis-habisan” untuk manusia. Kita sering salah memaknai peristiwa tersebut. Tidak perlu buang-buang uang berlebihan untuk “asesoris” karena kita bukan mau jadi model, tapi mau jadi saudara satu sama lain. Keindahan Natal tidak terletak dari pajangan dan hiasan, tapi dari “kehadiran kita yang ramah” kepada sesama saudara, teristimewa saudara yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kita, siapapun itu.

Siapa lagi yang mau ingat kepada saudara-saudara kita yang “celangap” melihat tingkah laku kita kalau bukan kita-kita sendiri? Coba lihat baik-baik lemari pakaian kita, berapa banyak dari isi lemari yang penuh sesak itu sebenarnya sudah tidak kita perlukan lagi? Mengapa kita tak pernah rela membaginya untuk yang membutuhkan dan lebih senang membiarkannya tak berguna di dalam lemari tersebut? Betapa indahnya kalau tiba-tiba anda beranjak bangun, membongkar lemari pakaian dll dan mulai memandang orang lain. Bahkan mulai belajar tersenyum kepada yang dari dulu “celangap” melihat tingkah-polah anda serta menyodorkan dengan tulus dan penuh kasih “isi lemari anda yang jarang atau bahkan tak hendak anda pakai lagi”. Itulah pesta anda bersama Kristus dan bukan makan mewah dibawah hiasan kerlap-kerlip pohon Natal berharga jutaan rupiah.

Masih ada lagi yang suka ribut: “Weleh…, tanggal lahir Yesus keliru. Yang benar bukan 25 Desember tahun 0 M, tapi menurut bukti-bukti sejarah yang makin banyak terkuak malahan jatuh sekitar bulan September tahun 04/05 Sebelum Masehi! Buset.., sudah lahir di kandang, umatnyapun ngaco lagi, dasar semprul! Penipu itu tempatnya di Neraka paling bawah, tak layak digugu dan ditiru! Begitu cercaan yang sering saya dengar sambil nyinyir. Untung saya ini ndablek tapi nurut sama Tuhan. Kalau Tuhan nyuruh saya gembira ya saya gembira saja. Disuruh gembira kok cari ribut dan susah, yang bodo sapa? (wakakakak….).

Yang kita rayakan di hari Natal itu adalah “Roh Kelahiran Kristus”, bukan tanggal tepatnya yang memang tak ada seorangpun yang tahu pasti. Menurut catatan sejarah, raja Herodes Agung (Raja Yudea/Palestina yang memerintah tahun 37 SM s/d 04 SM) meninggal tahun 04 SM dan Yesus lahir beberapa waktu sebelum raja Herodes meninggal. Jadi sekitar tahun 04/05 SM. Kemudian dikatakan dalam injil, bahwa para gembala menyaksikan kelahiran Yesus tersebut pada malam hari. Karena Yesus lahir di Bethlehem, tanah Yudea (Palestina) yang mengenal 4 musim, maka hal itu menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi di musim panas (sekitar September), dimana biasanya para gembala masih menjaga ternaknya sampai malam hari. Kalau pada musim dingin di bulan Desember, weleh..weleh…, bisa beku gembalanya malam-malam berada di padang rumput. Jadi “dugaan” yang paling kuat dan masuk akal memang lahirnya Yesus sekitar bulan September 04/05 SM, tetapi kapan tepatnya tidak ada yang tahu sampai hari ini.

Sensus penduduk memang masih amat langka pada masa-masa itu, bahkan baru pertama kali diadakan oleh Kaisar Agustus (Kaisar Romawi yang memerintah tahun 31 SM – 14 M) tepat pada saat Maria hendak melahirkan Yesus. Sensus yang pertama tersebut tercatat pada tahun 04 SM. Pada saat itu seluruh wilayah Palestina berada dibawah kekuasaan Romawi yang dipimpin Kaisar Agustus dan Raja Herodes hanyalah seorang raja di wilayah Yudea yang masih dibawah kekuasaan Romawi. Mungkinkah sensus inipun ada hubungannya dengan titah dari raja Herodes dengan tujuan utama untuk mengejar bayi Kristus untuk dibunuh? Lebih gilanya lagi, gara-gara mengejar bayi Kristus sampai keluar titah Raja Herodes untuk membunuh semua bayi berumur 2 tahun kebawah yang ada di Bethlehem! Dasar edan! Tapi Maria dan Yusuf telah membawa bayi Yesus menyingkir ke Mesir setelah mendapat perintah dari Malaikat Tuhan melalui mimpinya. Mereka tinggal di Mesir sampai raja Herodes mati pada tahun 04 SM. Kemudian mereka pulang kembali setelah diberi tanda aman oleh Malaikat dan tinggal di kota Nazaret, di daerah Galilea – Israel.

Lalu darimana munculnya tanggal 25 Desember? Itu mulai terjadi sekitar tahun 325 M, jauh setelah Yesus wafat. Pada saat itu Konstantin Agung, penguasa Romawi, adalah pengikut Katolik juga. Dari pengaruh Konstantin Agung dan para pimpinan umat Katolik pada saat itu muncullah ide untuk mengubah kebiasaan bangsa Romawi yang menyembah Dewa Matahari (Sun of God) dan merayakan pestanya pada tanggal 25 Desember (saat matahari muncul kembali untuk pertama kalinya setelah tidur lama di musim dingin), menjadi “menyembah Yesus” (Son of God), sehingga tercipta momen untuk mengubah kebiasaan “menyembah benda” menjadi menyembah “Allah”. Itu langkah yang, menurut saya, sangat brilian. Coba bayangkan, membalik kepercayaan seorang (hanya seorang saja) penyembah berhala menjadi penyembah “Allah”, betapa susahnya, apalagi ini kepercayaan sebuah bangsa! Maka kalau mau “fair”, saya mesti mengacungkan 2 jempol untuk langkah brilian tersebut, barangkali Yesuspun demikian.

Tentu saja semua itu terjadi bukannya tanpa pertentangan, bahkan muncul pertentangan yang hebat sekali. Ya wajarlah, urusan sebesar itu tentu dampaknya juga besar. Tetapi syukurlah pada akhir abad 4 M semua terkendali dengan baik dan sejarah mencatat sukses besar pengukuhan Agama Katolik di wilayah tersebut dan tanggal 25 Desember diterima sebagai Hari Lahir Yesus serta diperingati secara resmi oleh Gereja Katolik. Jadi pemilihan tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Yesus itu memang berbau politis.

Anda keberatan karenanya? Apa yang anda peringati? Tanggalnya atau Rohnya? Kalau anda memperingati “Rohnya”, maka tanggal menjadi tidak penting lagi. Mau tanggal berapapun, disalah satu hari itu pastilah Yesus pernah lahir, dan kelahirannya membawa makna untuk jiwa kita. Itulah yang terpenting. Bodohlah orang yang memikirkan hal sepele dan kehilangan makna utama bagi jiwanya, sama bodohnya dengan orang yang mengumpulkan harta dan kehilangan nyawanya. Pikirkanlah yang terbaik untuk jiwa anda, bukan untuk kesenangan sesaat anda. Selamat mempersiapkan datangnya Hari Natal, semoga “Roh Natal” menyertai anda semua.

 

Note:

Rujukan sejarah yang dipakai: The New Compact Bible Dictionary, edited by T. Alton Bryant, Copyright 1967 by Zondervan Publishing House, Michigan.

Sumber gambar: http://sitohanguntuktapanuli.files.wordpress.com/2008/12/jesus-was-born1.jpg

 

*************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun