Mohon tunggu...
Humaniora

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

28 April 2019   15:25 Diperbarui: 28 April 2019   16:57 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebal Buku      : 200 halaman

Buku ini menceritakan rangkaian sejarah bagaimana perempuan sangat menjadi subordinat dalam berbagai hal. Mulai dari perempuan dilarang mejadi pemimpin bangsa, seperti yang terjadi pada tahun 1998 dimana Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui aktivis politknya mengeluarkan pernyataan melarang presiden berjenis kelamin perempuan dengan mengatakan "PPP akan memilih 'putra' terbaik, dan bukan 'putri' terbaik.

Selain itu terlihat juga dalam praktik poligami, dimana banyak dari pelaku poligami melakukan praktik tersebut atas dasar nafsu yang berakibat merugikan perempuan dan tidak adanya sanksi hukum bagi pelaku poligami yang tidak bertanggung jawab. Selain itu juga karena terbentuknya konstruk pemikiran bahwa perempuan harus lemah lembut, perempuan tidak boleh bicara kasar dan sebagainya, begitupun juga dengan laki-laki, bahwa laki-laki itu harus tegas, kuat, tahan banting dan sebagainya.

Adanya pemikiran seperti itu yang secara sadar diyakinkan sebagai suatu realita bahwa fisik wanita jauh lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga wanita memiliki posisi yang subordinat. Tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kodrat,karena itu merupakan stereotipe yang terkonstruk didalam pikiran masyarakat.

Didalam buku ini terdapat tiga bab pembahasan, yaitu: pertama, Islam dan Kepemimpinan Perempuan; kedua, Islam dan Seksualitas Perempuan; ketiga, Perempuan, Islam dan Negara .

Pada bab pertama tentang Islam dan Kepemimpinan Perempuan, pada bab ini muncul perdebatan antara yg pro dan kontra terhadap kepemimpinan perempuan, dan yang menjadi pangkal perdebatan adalah kata qowwam sebagaimana tertera dalam ayat Alquran " Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" (An-Nisa: 34). Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen Agama dalam Alquran dan Terjemahannya pun mengartikannya demikian. Dari pemaknaan diatas nampak jelas bahwa pria pada posisi yang superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior.

Argumen superioritas laki-laki ini didasarkan pada asumsi bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan hidup keluarga sehari-hari. Selain itu, laki-laki umumnya dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan ( al-aznl), kekuatan ( al-quwwah), kemampuan tulisan ( al-kitabah) dan keberanian ( al-furusiyyah wa al-ramy). Karena itu, dari kaum laki-laki ini lahir para nabi, ulama dan imam.

Dan yang kontra terhadap pemaknaan ini datang dari sejumlah ahli tafsir berperspektif feminis, yaitu mengenai pemaknaan karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain. Menurut ahli tafsir berperspektif feminis, hal itu bersifat relatif dan tergantung pada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya. Karena itu, penafsiran yang bias laki-laki tersebut harus ditafsirkan lagi. Fazlur-Rahman menafsirkan bahwa "kelebihan" tersebut bukanlah bersifat hakiki, melainkan fungsional. Artinya, jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan laki-laki akan berkurang, karena sebagai manusia tidak memiliki keunggulan atas perempuan. Sejalan dengan tafsiran Fazlur-Rahman, Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa laki-laki qowwamun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bawa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis , sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Alquran, yakni memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Kriteria tersebut juga bisa dimiliki oleh perempuan, dan karena itu perempuan pun memiliki kelebihan.

Selain itu, menurut Asghar Ali Engineer, pernyataan Alquran karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan membelanjakan untuk perempuan. Karena itu pernyataan tersebut bersifat kontekstual dan bukan normatif. Seandainya Alquran menghendaki laki-laki harus menjadi qowwam atas perempuan, ia akan menggunakan pernyataan normatif dan pastilah mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan semua keadaan.

Selain itu, perlu kita lihat pula, konteks kelahiran ayat. Pertama, ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri dan bukan dalam konteks kepemimpinan. Kedua, melarang perempuan menjadi pemimpin atas dasar ayat ini adalah sebuah keangkuhan yang bertentangan dengan konsep dasar Tuhan menciptakan manusia. Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanat menjadi Khalifah (pemimpin) dimuka bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, laki-laki dan perempuan. Ketiga, ayat ini turun berkaitan dengan kuatnya kecenderungan kekerasan domestik pada masyarakat Arab pra-Islam. Oleh karena itu, makna yang cukup netral terhadap kata qawwam adalah pencari nafkah, penopang ekonomi, atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan.

Pada bab kedua yaitu mengenai Islam dan Seksualitas Perempuan, pada bab yang kedua ini sangat menarik perhatian saya dan membuka mata dan hati saya bagaimana perempuan benar-benar menjadi subordinat dalam berbagai hal. Pada bab kedua ini dipaparkan konsep perkawinan pada tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam). Dimana dalam menciptakan ketenteraman dalam rumah tangga, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga "gawang" kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, mendampingi suami, dan "tanah garapan" yang bisa "dicangkul" kapan pun dan dimana pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun