Baru-baru ini, kasus leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali meningkat dan menjadi perhatian yang serius. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DIY, Â tercatat ada 282 kasus leptospirosis hingga akhir Juli 2025. Kabupaten Bantul menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, disusul oleh Sleman, Kulon Progo, Kota Yogyakarta, dan Gunungkidul.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dalam waktu enam bulan terakhir tercatat  18 kasus leptospirosis, dengan 5 diantaranya meninggal dunia. Padahal, sepanjang tahun 2024 lalu hanya ditemukan 7 kasus dengan 1 kematian akibat penyakit ini. Lonjakan kasus ini tentu menjadi perhatian serius, karena menunjukkan bahwa leptospirosis bukan lagi sekadar penyakit musiman yang hanya muncul saat musim hujan. Kini,  leptospirosis telah menjadi ancaman nyata sepanjang tahun, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk atau di lingkungan dengan sanitasi yang kurang memadai.
Apa Itu Leptospirosis?
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang biasa ditemukan pada urine hewan yang terinfeksi, terutama tikus. Bakteri ini dapat menyebar melalui air atau tanah yang terkontaminasi. Selain tikus, hewan lain seperti anjing, babi, sapi, dan kambing juga bisa menjadi perantara (reservoir) penyakit ini. Bakteri Leptospira hidup di tubulus ginjal hewan pembawa dan dikeluarkan melalui urine. Bakteri ini menyebar melalui air atau tanah yang terkontaminasi dan dapat masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang terluka jika bersentuhan langsung dengan media tersebut. Selain itu, penularan juga bisa terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.Â
Gejala leptospirosis sering kali  menyerupai penyakit lain seperti demam berdarah, chikungunya, tifoid, serta hepatitis. Penderita biasanya mengalami demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mata menguning, serta mual dan muntah. Akibat kemiripan gejala dengan penyakit lain, banyak kasus yang  teridentifikasi ketika kondisinya sudah memburuk, sehingga pengobatan pun sering terlambat diberikan. Meski gejalannya membingungkan dan sulit terdeteksi sejak awal, memahami faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran leptospirosis menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah meluasnya kasus.Â
Faktor penyebab kasus dan peran lingkungan
Menurut Bayu Satria Wiratama, S.Ked., MPH., Ph.D., seorang dosen sekaligus epidemiolog Universitas Gadjah Mada, dalam podcast TropmedTalk yang tayang pada Senin (19/8), tren peningkatan kasus leptospirosis biasanya terjadi saat musim hujan atau setelah terjadinya banjir karena masyarakat lebih sering bersentuhan dengan air yang telah terkontaminasi bakteri Leptospira. Namun, ia menegaskan bahwa kasus juga dapat meningkat meskipun tidak ada hujan atau banjir. terutama jika kondisi lingkungan kotor.
Salah satu faktor utama ynag menyebabkan penyebaran leptospirosis di Yogyakarta adalah pengelolaan sampah yang buruk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Hidup dan Kehutanan (KLHK), DIY menghasilkan timbunan sampah sebesar 1.454,94 ton per hari, namun pengelolaan sampah masih sangat bergantung pada satu Lokasi, yaitu TPA Piyungan. Sayangnya TPA Piyungan telah ditutup sejak 16 April 2024 karena telah melebihi kapasitas tampung. Akibatnya, pengangkutan sampah dari rumah warga terganggu, dan pada akhirnya terjadi penumpukan sampah di lingkungan pemukiman. Tak sedikit warga yang membuang sampah sembarangan di lahan kosong , di saluran air, maupun di pinggir jalan.
Lingkungan kotor, saluran air yang tersumbat, dan sampah organik yang menumpuk menciptakan kondisi yang ideal untuk berkembang biaknya tikus. Hewan ini membawa bakteri Leptospira melalui urinnya yang mencemari lingkungan, Â termasuk genangan air.