Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pada hakikatnya adalah wujud komitmen negara dalam memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang lebih besar ini tentu bukan semata-mata anugerah, melainkan juga tanggung jawab yang berat untuk mengelola pemerintahan, melindungi sumber daya alam, serta memberdayakan manusia Papua agar sejajar dengan saudara sebangsanya di seluruh Nusantara.
Melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Nomor 6 Tahun 2014, lahirlah mekanisme pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dari unsur masyarakat asli Papua, sebuah pengakuan sekaligus penghormatan terhadap keberagaman dan nilai-nilai lokal. Kursi ini dikenal sebagai "Kursi 14", yakni seperempat dari jumlah kursi DPR Papua dan Papua Barat, yang diisi oleh para wakil dari tujuh wilayah adat. Mereka bukan hanya simbol representasi, melainkan corong aspirasi bagi suara yang kerap luput dari perhatian pusat.
Namun, sebuah pertanyaan mendasar perlu diajukan: jika di tingkat provinsi terdapat mekanisme pengangkatan yang menjamin keterwakilan Orang Asli Papua, mengapa di tingkat DPR RI di jantung kekuasaan politik nasional tidak ada Fraksi Otsus yang lahir dari semangat dan amanat undang-undang itu sendiri?
Ketiadaan fraksi Otsus di Senayan adalah paradoks yang membingungkan. Aspirasi Papua kerap kali berhenti di tingkat provinsi, terhenti oleh tembok birokrasi atau dibungkam oleh politik partai nasional yang tidak selalu memahami denyut nadi tanah Papua. Bahkan ketika suara itu sampai ke pusat, ia hanyalah gema di lorong panjang kekuasaan, terdengar namun jarang didengar.
Bandingkan dengan mekanisme di daerah: melalui jalur adat dan kursi afirmatif, aspirasi masyarakat lebih terjembatani secara efisien dan bermartabat. Maka wajar, seiring disahkannya tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua dan terbentuknya empat provinsi, muncul tuntutan agar dibentuk Fraksi Otonomi Khusus di DPR RI. Ini bukan soal politik semata, melainkan soal hak-hak yang bersifat paten, bahkan laten, karena Otonomi Khusus bukan produk daerah, melainkan mandat konstitusi negara.
Keberadaan Fraksi Otsus sejatinya bukan hanya untuk menjaga kesinambungan representasi di tingkat provinsi dan kabupaten, tetapi juga untuk mengawal jalannya aspirasi hingga ke pusat kekuasaan nasional. Tanpanya, banyak kebijakan nasional tentang Papua terasa asing lahir tanpa melibatkan suara dari tanah yang dituju.
Sudah terlalu lama Papua menjadi objek kebijakan, bukan subjeknya. Terlalu banyak keputusan diambil tanpa melibatkan orang yang paling terdampak. Oleh sebab itu, kehadiran Fraksi Otsus di DPR RI akan menjadi jembatan politik yang adil, agar kebijakan tidak lagi dimonopoli oleh partai-partai besar yang belum tentu memahami konteks dan kompleksitas Papua.
Fraksi Otsus akan menjadi wadah untuk menyalurkan, memperjuangkan, dan mengawal aspirasi masyarakat Papua secara lebih utuh dan bermartabat. Ia juga bertugas mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus dan menyampaikan hasilnya kepada publik, sebagai bentuk pertanggungjawaban demokratis kepada rakyat.
Di atas segalanya, Fraksi Otsus adalah tentang keadilan representatif. Ia adalah tentang wajah Papua yang hadir secara sah, berdaulat, dan terhormat di dalam parlemen nasional. Maka jika kebijakan ini dipandang perlu dan layak, sudah saatnya diadakan musyawarah mufakat dari tujuh wilayah adat Papua untuk mengangkat wakil-wakil terbaiknya. Agar Senayan tidak hanya menjadi ruang bagi elite, tapi juga ruang untuk suara hati Papua.