Upgrade ponsel tiap tahun. Langganan semua platform. Beli smartwatch, tapi lupa jaga kesehatan. Kita mengoleksi teknologi, tapi kadang lupa: buat apa sebenarnya semua ini?
Teknologi menjanjikan hidup yang lebih mudah, lebih cepat, lebih efisien. Tapi di tengah gegap gempita inovasi, kita justru makin sering kehabisan waktu, perhatian, bahkan uang. Apakah kita benar-benar butuh semua fitur itu, atau hanya takut merasa ketinggalan?
Teknologi: Alat atau Identitas?
Dulu, orang beli ponsel karena butuh komunikasi. Sekarang, banyak yang membeli karena ingin terlihat relevan. Smartphone bukan sekadar alat, tapi statement. Earbuds yang menyatu dengan gaya. Laptop tipis sebagai simbol produktivitas. Jam tangan pintar yang sebenarnya jarang dipakai olahraga. Teknologi kini tak hanya menjawab kebutuhan. Ia menjual identitas. Kita tidak sekadar membeli perangkat. Kita membeli rasa diterima.
Upgrade Tanpa Henti, Tapi Untuk Apa?
Produsen tahu persis: manusia suka yang baru.
Maka tiap tahun, muncul versi "lebih canggih" dari yang kita punya. Sedikit lebih cepat. Kamera sedikit lebih tajam. Desain sedikit lebih tipis. Tapi apakah kita sungguh merasakan bedanya?
Banyak orang menguras tabungan atau mengambil cicilan untuk perangkat yang tak mengubah banyak hal, selain gengsi.
Kita jadi budak fear of missing out versi teknologi.
Kaya Teknologi, Miskin Fokus
Dengan semua kemudahan ini, kita seharusnya lebih produktif. Nyatanya? Kita justru semakin terdistraksi.
Notifikasi tak henti. Email dari 3 akun berbeda. Grup WhatsApp kantor, keluarga, alumni, dan komunitas, semuanya aktif.