Mohon tunggu...
Silva 11
Silva 11 Mohon Tunggu... mahasiswi

traveling,kulineran,olahrga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan Yang Disah Kan Publik: Ketika Nenek Dan Dua Kilo Bawang Menelanjangai Watak Sosial Kita

10 Mei 2025   15:17 Diperbarui: 10 Mei 2025   15:17 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan yang Dianggap Normal

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial dihebohkan oleh video memilukan: seorang nenek renta, wajahnya berlumuran darah, menuruni tangga pasar sambil terhuyung. Ia dikeroyok karena diduga mencuri dua kilogram bawang putih. Harga bawang itu tak sampai seratus ribu rupiah. Tapi harga moral dan akal sehat kita sebagai masyarakat, tampaknya jauh lebih murah.

Nenek itu berinisial SA, berusia 67 tahun, berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Ia bukan penjahat kambuhan. Ia hanyalah pedagang kecil yang keliling menjual sayur dan gorengan demi bertahan hidup. Dalam kondisi terdesak ekonomi dan tercekik utang, ia mengambil bawang yang bukan miliknya. Salah, iya. Tapi apakah kesalahan itu pantas dibayar dengan pemukulan, darah, trauma, dan perlakuan yang nyaris tak manusiawi?

Sayangnya, bagi sebagian warga pasar dan dua petugas keamanan yang menjadi pelaku pengeroyokan, jawabannya tampaknya: iya. Kekerasan dilakukan, direkam, dan disebarluaskan. Bukan hanya fisik SA yang babak belur, tetapi juga harga diri bangsa ini yang kembali compang-camping.

Ketika Hukum Sosial Mengganti Keadilan

Kita sedang menyaksikan fenomena klasik yang terus berulang: main hakim sendiri. Setiap kali masyarakat merasa marah, kecewa, atau kehilangan kontrol terhadap hidupnya, mereka mencari "musuh" yang lemah untuk dilampiaskan. Seperti nenek SA.

Ini bukan sekadar kasus pencurian. Ini adalah peristiwa sosial. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap SA adalah bentuk kolektif dari apa yang disebut "penghukuman publik"---yakni ketika masyarakat merasa berhak menggantikan sistem hukum yang sah dengan kemarahan spontan.

Ironisnya, peristiwa semacam ini selalu menimpa mereka yang paling miskin, paling lemah, paling tidak berdaya. Nenek SA adalah simbol dari mereka yang tidak punya kuasa. Hukum menjadi tumpul ke atas, dan amat tajam ke bawah. Kita jarang melihat kerumunan warga mengeroyok koruptor atau mafia tanah, meski mereka mencuri jauh lebih besar dari dua kilogram bawang.
Kekerasan yang Dianggap Normal

Mungkin yang lebih menakutkan dari insiden ini adalah bagaimana kekerasan dianggap wajar. Seolah-olah, memukuli seseorang karena ia mencuri adalah tindakan yang bisa dimaklumi, bahkan dibenarkan. Beberapa komentar netizen bahkan menyalahkan nenek itu secara penuh, tanpa sedikit pun menyisakan ruang empati.

Apa yang terjadi pada masyarakat kita? Di mana rasa iba kepada lansia yang terdesak oleh ekonomi? Kapan kita mulai kehilangan kemampuan membedakan antara pelanggaran kecil karena lapar dan kejahatan besar karena rakus?

Kita telah lama terjebak dalam masyarakat yang lebih suka menghukum daripada memahami. Kita terlalu cepat mengutuk, dan terlalu lambat untuk menolong. Kita tidak pernah tahu latar belakang seseorang, tapi sudah merasa cukup berhak untuk melabelinya sebagai "penjahat."

Bukan Kasus Pertama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun