Mohon tunggu...
A. Husna
A. Husna Mohon Tunggu... -

Hanya ingin menuliskan "kisah kecil" tentang Pak Ustadz. (Bisa ditemui di \r\nhttp://petisikotbah.wordpress.com)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senyum Si Mayit

7 Januari 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12943696121245143642

Kampung Pak Ustadz gempar. Puluhan orang meniupkan suara dari jalan ke jalan, gang ke gang, dan rumah ke rumah. Gara-garanya Mbah Kisrun. Kematiannya yang tidak diduga-duga dan tanpa didahului sakit telah meninggalkan bekas di benak semua orang. "Jenazah Mbah Kisrun tersenyum!" Puluhan orang yang melihat dengan mata kepala sendiri wujud jenazah Mbah Kisrun berusaha menyimpulkan tanpa membesarkan-besarkan. "Iya. Aku yang pertama kali mengangkat jenazah Mbah Kisrun saat pertama kali terlentang di kamar mandi. Nggak ada luka, tapi nafasnya sudah tak berdetak. Saat dipindah ke kamar tidur tiba-tiba bibir Mbah Kisrun sudah membuka seperti tersenyum." Kardi yang paling dulu melihat peristiwa meninggalnya Mbah Kisrun memberi kesaksian. Amin tak mau kalah. Ia juga berusaha menambahkannya. "Bener omongan Kardi. Bahkan ketika disholatkan, jenazah itu tetap tak berubah. Meninggalkan senyum yang bagi semua orang terasa misteri." "Misteri? Misteri apa?" tanya Kosim yang sedari tadi diam dengan seenak udelnya. "Lho, bagaimana nggak misteri, bukankah sakaratul maut dan kematian itu sesuatu yang menyakitkan?" bantah Amin dengan nada cukup keras. "Kata Pak Ustadz, sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang." "Iya. Pak Ustadz bahkan pernah menerangkan bahwa kematian yang paling ringan-pun dapat diibaratkan seperti sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?" Kosim terdiam, tak membantah. Tapi, tiba-tiba mulutnya bergetar. "Kalau begitu, kenapa jenazah Mbah Kisrun tersenyum?" Kardi dan Amin kini yang ganti terdiam. Ia seperti tak mampu menjawab pertanyaan Kosim. Namun, benak dan hatinya menari-nari berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara mengingat-ingat kembali sosok Mbah Kisrun. "Ah, pasti karena Mbah Kisrun rajin sholat berjamaah di masjid dan hadir di pengajian-pengajian." "Mungkin juga karena Mbah Kisrun suka menolong dan menyantuni anak yatim dan orang terlantar." "Atau mungkin karena Mbah Kisrun tak suka bermusuhan dengan siapapun juga." Kardi dan Amin berusaha menerka-nerka. Namun, semua jawaban itu seolah tak memuaskan Kosim, bahkan juga bagi Kardi dan Amin sendiri. Senyum Mbah Kisrun di saat ajal menjemput tetap menjadi misteri sampai kemudian Kosim nyeletuk ringan. "Aku tahu. Jenazah Mbah Kisrun tersenyum, pasti karena saat menjalani hidup dan kehidupannya Mbah Kisrun memang tak pernah tidak tersenyum." Kardi dan Amin kali ini tersenyum. Benar! Benar sekali! Mereka memang tak pernah melihat Mbah Kisrun marah, sedih, jengkel, iri, atau dengki kepada orang lain. Ia seolah menjalani hidup dengan ikhlas, apa adanya. Selalu tersenyum! Apakah ini yang menyebabkan jenazah Mbah Kisrun tersenyum? Ah, pasti! * * *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun