Mohon tunggu...
sigit setiawan
sigit setiawan Mohon Tunggu... Guru/Dosen

Saya suka ngopi tanpa gula, soalnya gula tuh jahat!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pekewuh ala anak desa: harmoni yang bisa menjadi petaka?

28 September 2025   09:19 Diperbarui: 28 September 2025   09:19 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena Budaya di Persimpangan Jalan

Fenomena sosial di pedesaan Jawa sering kali diwarnai dengan sikap pekewuh atau rasa sungkan. Dalam tradisi Jawa, sikap ini merupakan bentuk tata krama---unggah-ungguh---sebagai wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua, berstatus tinggi, atau memiliki pengaruh. Pekewuh, dalam makna tradisional, berfungsi sebagai perekat harmoni sosial yang mencegah konflik terbuka.

Namun, dalam dinamika sosial-politik desa masa kini, pekewuh yang berlebihan justru menjadi pedang bermata dua. Ketika masyarakat lebih memilih diam daripada bersuara, terutama terkait kebijakan desa, harmoni berubah menjadi kerugian kolektif. Kritik yang seharusnya mengoreksi kekeliruan justru terhenti sebagai bisik-bisik di warung kopi.

Diam di Forum, Bersuara di Luar

Sudah menjadi kebiasaan: forum resmi desa seperti musyawarah desa sering berlangsung hening dari kritik tajam. Warga cenderung menahan diri dengan alasan takut menyinggung, khawatir dicap tidak sopan, atau bahkan dianggap melawan pemimpin desa.

Padahal, begitu forum usai, suasana berbalik. Di pos ronda atau obrolan malam, keluhan muncul bertubi-tubi: soal jalan desa yang rusak tak kunjung diperbaiki, soal dana desa yang terasa tak jelas arahnya, hingga soal bantuan sosial yang dinilai tak adil.

"Di forum mereka diam, di belakang justru ramai mengeluh. Itu gejala klasik dari budaya pekewuh yang kebablasan," kata Dr. Suroso, seorang sosiolog pedesaan dari Universitas Negeri Semarang. Menurutnya, kondisi ini membuat fungsi kontrol sosial masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dari Harmoni ke Petaka

Ketika masyarakat enggan bersuara, kebijakan yang merugikan bisa berjalan mulus tanpa perlawanan. Pembangunan fisik yang sekadar formalitas, pengelolaan dana desa yang tidak transparan, atau proyek-proyek yang lebih menguntungkan segelintir pihak bisa berlangsung tanpa koreksi.

Sejarawan Jawa, Prof. Bambang Purwanto, menilai fenomena ini sebagai warisan panjang dari budaya feodal di Jawa. "Dalam struktur sosial Jawa tradisional, ada konsep wedi, isin, sungkan yang membentuk hierarki sosial. Rakyat kecil dibiasakan manut kepada elite, sehingga tradisi ini terbawa hingga era modern," jelasnya.

Artinya, pekewuh tidak lahir begitu saja, melainkan bagian dari konstruksi sejarah yang menempatkan warga biasa pada posisi 'subaltern'---sulit bersuara, apalagi melawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun