Kesempatan pada hari Sabtu pagi ini saya gunakan untuk berjalan kaki menyusuri  jalur jalan raya Cipeucang - Cileungsi. Sebenarnya tujuan utama saya, adalah : melihat kondisi jalan Rawailat -Dayeuh, yang membujur lurus dari kampong Gandoang kea rah Cileungsi, sejajar dengan jalan utama. Jalan Rawailat -Dayeuh merupakan jalan alternative bagi pengguna jalan raya Cileungsi - jonggol, bila ingin menghindari kemacetan di sepanjang Taman Buah Mekarsari, gerbang masuk perumahan Duta Mekar , gerbang masuk perumahan Metland, atau saat bubaran kerja di pabrik garmen Citra Abadi Sejati. Pada tahun 2008, ketika sedang dilakukan pengecoran di jalan utama Cileungsi, suasana lalu-lintas setiap pagi dan sore hari mengalami kemacetan parah. Kondisi jalan yang mengalami kerusakan sangat parah akibat aktivitas pengangkutan pasir memang telah ditanggapi oleh penanggung jawab perbaikan jalan melalui program pengecoran pada beberapa ruas jalan yang kondisi kerusakannya paling parah. Akibat pelaksanaan pengecoran yang menyebabkan kemacetan,  para pemakai jalan kemudian banyak yang beralih melewati jalur jalan Rawailat - Daeyuh tersebut. Bisa disebut bahwa jalur Rawailat - Daeyah adalah jalur jalan yang sangat berjasa bagi para 'pelaju' (commuter) yang bekerja di Jakarta. Pada masa-masa empat tahun yang lalu, jalan Rawailat - Daeyuh tampak seperti  jalan kubangan kerbau, sesuai dengan namanya. Permukaannya bergelombang naik turun, sehingga ketika sehabis turun hujan kondisi jalan akan tertutup genangan air lumpur kecoklatan. Saya ikut merasakan 'penderitaan' saat melewati jalan tersebut. Bersama-sama dengan ratusan buruh perempuan yang bersama-sama menuju kea rah Cileungsi, saya berjuang meliuk-liuk diantara kubangan air dan harus merasakan punggung yang pegal, akibat terdorong maju- mundur saat roda motor naik- turun ke dalam kubangan. Start dari rumah pada pukul 07.30, saya menyusuri jalan utama, selanjutnya masuk ke jalan desa Mampir Timur hingga bertemu dengan perempatan Gandoang. Perempatan itulah  yang menjadi pintu masuk jalan Rawailat-Dayeuh. Kondisi jalan desa Mampir Timur (sepanjang 1 kilometer) yang menjadi awal jalan Rawailat- Dayeuh, dari arah Jonggol, juga merupakan jalan desa 'mati' yang tidak pernah tersentuh kemajuan. Saya sempat terheran-heran dengan 'perubahan' di perempatan tersebut. Saat terakhir melewatinya saya Cuma melihat sebuah minimarket di sudut tikungan. Tadi pagi saat saya melewati, tampaklah sebuah minimarket tandingan di dekatnya. Jam di tangan saya menunjuk pada pukul 08.05, ketika saya mulai menyusuri jalan Rawailat -Dayeuh sepanjang 6 kilometer. Kondisi jalan ternyata masih sama dengan kondisi pada tahun 2008, genangan air kecoklatan sisa hujan semalam  yang menutupi lubang selebar jalan masih terlihat di beberapa tempat. Situasi jalan terlihat sepi, karena para buruh pekerja telah berada di pabriknya masing-masing.  Saya masih ingat saat melewati jalan tersebut 3 tahun yang silam. Jalan desa Rawailat - Dayeuh saat itu telah menjadi jalan primadona yang dilewati oleh sejumlah kendaraan berat dan ringan, sehingga suasananya benar-benar padat. Saat ini kemungkinankondisinya kembali sepi, meskipun perannya tetap penting terutama bagi yang ingin suasana kerindangan pepohonan khas perkampungan di pedalaman. Sejumlah komplek hunian juga saya lihat di tepi jalan. Saya menghitung ada 5 pintu gerbang perumahan yang bermuara di jalan Rawailat - Dayeuh.  Ketika masuk ke wilayah bagian belakang Taman Buah Mekarsari terlihat perubahan menyolok, karena kondisi jalan telah diaspal mulus bersambung dengan cor semen sejauh kira-kira 3 kilometer hingga ke gerbang perumahan Permata Cibubur, kota Cileungsi. Harap maklum karena dikiri-kanan jalan itu terdapat sejumlah pabrik. Beberapa yang saya kenal, adalah: Samick, Sumbong, Bostinco, dan lain-lain. [caption id="attachment_151588" align="aligncenter" width="378" caption="Perempatan Gandoang (Permulaan jalur jalan Rawailat)."][/caption] [caption id="attachment_151590" align="aligncenter" width="379" caption="Kubangan air hujan "][/caption] [caption id="attachment_151593" align="aligncenter" width="393" caption="Kubangan air hujan"][/caption] [caption id="attachment_151594" align="aligncenter" width="393" caption="Jalur pintu belakang Mekarsari."][/caption] [caption id="attachment_151595" align="aligncenter" width="391" caption="Pintu masuk Permata Cibubur, Cileungsi."][/caption] Saya pernah terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang mempunyai bengkel usaha di tepi jalan tersebut. Dia pernah mendengar celetukan seorang sopir angkot yang mengatakan 'lebih suka dengan kondisi jalan rusak seperti itu'. Alasannya 'karena pengguna motor yang baru saja mencuci motornya, setelah berkubang lumpur, pasti enggan mengeluarkan motornya untuk bepergian, sehingga mereka pasti memilih naik angkot'. Sesaat setelah tiba di pintu bagian belakang Permata Cibubur, pukul 09.05 , saya beristirahat sebentar sambil minum susu kedelai, bekal yang saya simpan di tas. Lima menit kemudian saya berangkat lagi berjalan kaki menuju jalan raya utama menyusuri 'bulevard' perumahan sejauh kira-kira 700 meter. Saya sempat mampir ke gedung futsal di tepi kiri jalan raya dari arah perempatan Cileungsi untuk melihat remaja-remaja laki-laki berolahraga pagi sepakbola futsal di gedung tersebut. Lalu-lintas sangat padat ketika saya menghentikan angkutan kota jalur 64 menuju ke Jonggol, pulang ke rumah. Saya sampai di rumah tepat pada pukul 10.00. 24 Desember 2011.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI