Sebagian kita bekerja keras bukan untuk hidup berlebih, melainkan hanya agar bertahan hidup.Â
Kepulauan Riau, provinsi dengan lima kabupaten dan dua kotamadya merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga. Kondisi geografis Kepri yang memiliki 97 persen berupa perairan menyimpan potensi besar.
Batam sebagai magnet investasi sejak dibuka tahun 1970an silam bertaransformasi menjadi daerah yang ditopang oleh sektor industri manufaktur. Sementara, bentang alamnya yang indah mendatangkan pendapatan dari kunjungan pelancong dalam dan luar negeri.
Bersama daerah lain, Batam menikmati efek masuknya investasi sekaligus manfaat besar letak geografis di bidang pariwisata. Namun, kondisi geografis itu pula lah yang hampir setiap tahun mendatangkan nestapa.
Upah Minimum Kota di Batam cukup tinggi. Tahun 2020, pekerja di Batam setidaknya akan menerima Rp4.1 juta perbulan. Angka yang cukup lumayan, apabila dibandingkan dengan darah lain di Indonesia. Tetapi, angka UMK itu tidak banyak berarti saat dihadapkan pada tingginya harga kebutuhan pokok.
Standar hidup layak dihitung dari puluhan komponen. Di Batam, hanya barang bekas yang dapat dibeli dengan harga miring. Barang elektronik bekas Singapura, mebel dan pakaian bekas dari Malaysia, hingga ponsel dan aneka barang bermerek lainnya yang masuk memanfaatkan status Batam sebagai Free Trade Zone (FTZ).
Berbagai kemudahan itu bagi sebagian orang tidak berdampak banyak. Pasalnya, hampir seratus persen didatangkan dari luar wilayah. Beras, daging, sayur, buah, bumbu dan produk hortikultura lain masuk tiap harinya dari Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.
Lebih dari lima bulan dalam setahun, Batam bersama wilayah lain di Kepri yang sangat tergantung dengan pasokan daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya harus merasakan gejolak harga. Penyebabnya, angin kuat yang bertiup dari Laut China Selatan, yang lazim disebut angin utara oleh masyarakat sekitar. Angin basah yang biasanya bertiup pada bulan Agustus hingga Maret.
Saat musim angin utara, ombak meninggi dan mengganggu pelayaran. Imbasnya, suplai kebutuhan pokok  kerap tersendat. Jikapun ada, harganya tinggi karena pedagang kerap mesti menyewa kapal kayu sendiri yang berani berlayar pada cuaca buruk. Lebih parah lagi, Batam terkesan tidak siap dengan rencana kontingensi jika terjadi kondisi darurat pangan.
Batam selama bertahun-tahun bertahan. Istilah badai pasti berlalu diyakini betul oleh orang yang tinggal di Batam. Kendati mengeluh keberatan, inflasi akibat harga volatile food terdampak cuaca buruk tetap dinikmati sebagai kelaziman. Sewajar angin utara menjadi langganan faktor yang selalu masuk dalam catatan inflasi baik month to month (mtm) maupun year on year (yoy) rilisan BPS maupun Bank Indonesia.