Tidak ada yang salah kalau Mensos RI, Tri Rismaharini (Risma), blusukan kesana dan kemari sampai ke kolong-kolong jembatan di wilayah DKI Jakarta.
Tidak salah juga kalau ada yang kontra, mengkritik tindakan Bu Risma yang dinilai terlalu "pecicilan" dan terlalu kentara melakukan strategi yang berbau politis, menerapkan blusukan sebagai strategi pencitraan untuk mem-branding popularitas.
Bahkan, tidak ada yang salah bila ada yang pro ataupun setuju, mendukung secara penuh, terkait sepak terjang blusukan yang dilakukan oleh Bu Risma.
Masing-masingnya, baik itu Bu Risma, yang pro dan juga yang kontra terhadap Bu Risma, punya kesetaraan yang sama untuk bebas berekspresi dan berpendapat di muka umum sesuai koridor Konstitusi.
Hanya saja, kaitannya dengan Bu Risma sudah jadi Menteri Sosial RI, tentu ada yang perlu jadi perhatian dan pertimbangan komprehensif.
Lantas apakah itu?
Niat hati Bu Risma memang baik, tulus dan ikhlas, melakukan metode pendekatan langsung secara blusukan, dan terjun survey langsung ke lapangan untuk menyambangi masyarakat.
Bahkan, memang sudah jadi kebiasaan atau malah jadi budaya etos kerja Bu Risma saat pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya.
Namun demikian, Bu Risma juga seyogianya bisa lebih bijak dalam menempatkan dan memosisikan diri, terkait tugas dan tanggung jawabnya di lingkungan kerja dan di mata publik sebagai siapa, sebagai Walikota kah, atau sebagai Menteri?