Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Krisis Petani dan Suramnya Sektor Pertanian

3 Februari 2020   11:24 Diperbarui: 3 Februari 2020   11:25 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar | Dokumen foto Geo Times.co.id

Fenomena banyaknya lahan lahan pertanian yang tak digarap karena tidak ada pekerja tani atau petani yang menggarap sudah menjadi pemandangan umum hingga saat ini.

Bahkan perkembangannya lahan lahan pertanian kini justru kian menyempit karena lahan yang tak terurus justru dijual untuk pemanfaatan lain yang tidak ada kaitannya dengan sektor pertanian.

Petani Kalau pun ada, rata rata dari mereka umumnya sudah berusia tua, sangat sedikit sekali petani muda atau generasi penerus yang terjun menggarap lahan pertanian.

Anggapan hampir sebagian besar masyarakat yang mencitrakan bahwa terjun menjadi petani merupakan profesi rendahan dan simbol kemiskinan menjadi dalih ataupun alasan utama masyarakat maupun generasi muda untuk terjun di sektor pertanian.

Tapi memang disatu sisi ternyata anggapan dan citra tersebut ada benarnya juga, faktanya memang pada kenyataannya penghasilan petani cenderung rendah.

Regenerasi petani yang diharapkan dapat turun temurun diwariskan pada anak maupun keturunannya, ternyata jauh dari harapan, kebanyakan mereka justru bekerja dengan profesi profesi yang kekinian.

Para petani yang kebanyakan memang bermukim di pedesaan ini semakin merana, ketika sudah bekerja keras sepanjang hidup untuk membiayai pendidikan anak anak mereka, justru setelah selesai menempuhnya, anak anak mereka malah banyak yang bekerja di kota dan enggan kembali ke desa ataupun terjun menggarap lahan pertanian.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, banyak lulusan sarjana pertanian malah bekerja tidak sesuai disiplin ilmunya, lihat saja faktanya, banyak sarjana pertanian malah bekerja di bank, perusahaan leasing, perusahaan asuransi, dealer dealer, dan lain sebagainya.

Kondisi ini sungguh sungguh sangat memprihatikan, sektor pertanian kita semakin kedodoran dan merosot, sektor pertanian kita sudah dalam kondisi krisis dan darurat, potensi kehancuran yang bersifat struktural dan sistemik sudah kian terasa dipeluk mata, petani petani semakin berkurang dan menghilang.

Lalu kalau sudah begini, apa gunanya dan sudah sejauh apa sebenarnya Revolusi Industri 4.0 dan inovasi serta disrupsi yang digembar gemborkan dan dielu-elukan pemerintah dilakukan, bila kondisi sektor pertanian tidak menunjukan perkembangan yang berarti.

Produk pangan esensial yang seharusnya bisa di produksi di negeri sendiri ternyata pada akhirnya negeri ini harus melakukan impor akibat dampak krisis petani di sektor pertanian? Sehingga ini cukup jadi pertanyaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun