Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Money

Apakah Ini Penyebabnya, Mengapa Sektor Migas Indonesia Masih Impor?

23 Desember 2019   10:11 Diperbarui: 23 Desember 2019   10:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar | Dokumen Bumn.go.id

Sebuah fakta yang sungguh ironi ketika Indonesia yang sejatinya mampu menghasilkan produksi Migas melimpah ruah dan mampu menghasilkan pendapatan devisa negara dari hasil ekspor Migas tapi justru menjadi negara pengimpor Migas.

Padahal bila ekspor produksi aktivitas dari Migas dapat terealisasi dengan baik, yaitu produksi minyak dan gas, kilang (minyak, gas, LPG, LNG), dan penyimpanan BBM, maka dapat meningkatkan devisa negara.

Industri Migas di Indonesia sebenarnya sudah tergolong maju, dan memiliki peran yang sangat strategis bagi Migas nasional.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pemerintah masih impor migas?

Nampaknya liberalisasi dan sistem kapitalisme disektor Migas di Indonesia masih terjadi dan telah mengakar sejak rezim orde baru hingga sekarang.

Sejak disahkannya UU Migas No 22 Tahun 2001. Semakin memberikan gambaran bahwa UU Migas ini menjadikan Indonesia hanya diberikan peran sebagai regulator terhadap investor asing.

Sehingga UU Migas tersebut menempatkan investor asing yang lebih mendominasi sektor Migas baik di hulu maupun di hilir dengan membuka investasi membangun SPBU-SPBU atau investasi migas lainnya.

Memang dalam hal ini, secara formal negara masih diakui sebagai pihak yang menguasai Migas, tapi penguasaan tersebut ternyata hanya sekadar menjadikan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan saja yaitu wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Sebagai pemegang kuasa pertambangan, Pemerintah melalui Badan Pelaksana yang dibentuk, ternyata dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi secara langsung.

Ternyata Badan pelaksana yang dibentuk ini hanya berfungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu saja, disamping itu hanya melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama, dan memonitoring pelaksanaannya, serta menunjuk penjual migas.

Sedangkan pelaksana langsung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang didasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.

Kondisi ini juga menjadikan hampir dari seluruh kegiatan usaha migas baik hulu maupun hilir hanya berdasarkan pada mekanisme pasar.

Selain itu, beberapa pasal-pasal lain UU Migas juga disinyalir lebih menguntungkan investor asing, sehingga sektor Migas ataupun SDA sejenis lainnya terkesan lebih banyak dikuasai investor asing.

Mereka bebas mengeksploitasi dan mengeksplorasinya karena berlindung di balik UU Migas dan apa hasilnya bagi pemerintah Indonesia, ternyata pemerintah Indonesia harus menerima kenyataan pahit justru malah melakukan impor migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Meskipun sejatinya migas ada di negeri ini. Namun, secara praktiknya dan realitanya, hampir sebagian besarnya bukan milik negeri ini lagi tapi sudah di miliki para investor asing.

Inilah yang diduga menjadi penyebab Indonesia masih mengimpor Migas, penerapan sistem kapitalisme dan liberalisasi masih mengakar di sektor Migas.

Padahal migas dan barang tambang lainnya adalah menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak, semua masyarakat memiliki hak yang sama dalam mendapatkan manfaat dan kegunaannya.

Inilah juga yang nembuat Presiden RI Joko Widodo murka, kenapa hingga saat ini Indonesia masih mengimpor Migas.

Oleh karena itu, Pemerintah harus mengembalikan lagi tanggung jawab pengelolaan sektor Migas, sehingga sektor Migas harus dikelola hanya oleh negara.

Negara harus bertanggung jawab penuh untuk mengeksploitasinya dan hasilnya harus dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat seperti misal dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya.

Karena itu, negara harus berupaya mengambil alih tanggung jawab tersebut. Negara seyogianya tidak memprivatisasi harta milik umum tanpa pertimbangan dan perhitungan yang matang kepada siapa pun baik kepada pihak swasta maupun pihak asing.

Negara sendiri yang harus mengelola sumber daya alam yang ada. Sehingga negara tidak lagi melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Sehingga negara dapat maju dan menyejahterakan rakyatnya.

Semoga bermanfaat.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun