Di era serba cepat dan serba "dinilai" seperti sekarang, kita sering terjebak pada dua kutub ekstrem.
Di satu sisi ada mereka yang terlalu percaya diri. Mereka merasa paling benar, paling cerdas, tak peduli pada perasaan orang lain. Hidup dijalani sesuka hati tanpa tanggung jawab. Dari luar tampak seperti "pemenang", tapi di baliknya kerap ada jejak luka dan penderitaan yang ditinggalkan untuk orang lain.
Di sisi lain ada mereka yang terlalu peduli pada apa kata orang. Setiap langkah dipikirkan, setiap tindakan dinilai---"nanti orang suka nggak, ya?", "nanti dikritik nggak, ya?". Demi pujian, mereka bahkan rela melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka tahu salah. Hidup pun jadi penuh ketakutan dan rasa tidak bebas.
Kedua kelompok ini punya "perlindungan" yang rapuh:
-- Yang pertama mengandalkan diri sendiri secara egois.
-- Yang kedua mengandalkan orang lain secara berlebihan.
Keduanya sama-sama sempit, tidak aman, dan pada akhirnya membuat kita lelah.
Lalu, kepada siapa seharusnya kita berlindung?
Jawabannya bukan pada "aku" atau "mereka", melainkan pada Dhamma --- kebenaran dan kebijaksanaan universal yang diajarkan Sang Buddha.
Berlindung pada Dhamma artinya menjadikan hidup kita berlandaskan tiga hal sederhana tapi dalam:
Kedermawanan -- belajar memberi tanpa pamrih, karena memberi melapangkan hati dan mengikis ego.