Mohon tunggu...
siasih
siasih Mohon Tunggu... Freelancer - perempuan yang yoga, jalan-jalan dan menulis

keisengan yang hakiki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Syukuri Perbedaan, Nikmati Keindahannya

24 Desember 2019   02:54 Diperbarui: 24 Desember 2019   02:54 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat duduk di bangku SD, saya baru tahu bahwa almarhumah Ibu seorang mualaf. Bukan karena saya bertanya dan Ibu menjawab mengenai hal tersebut. Tapi saya tahu setelah memperhatikan dan kemudian menyimpulkan.  

Saat duduk di bangku sekolah dasar, saya masih melihat almarhumah Ibu menyimpan rapi kitab Injil di kamar. Beberapa tahun kemudian, saya tak pernah lagi melihat kitab tersebut dan almarhumah Ibu makin tekun sholat lima waktu serta rajin ikut pengajian kaum ibu di mushola dekat rumah saat kami masih tinggal di Ciputat.
Pernah saat malam takbiran, saya lihat Ibu menangis.
"Kok Ibu nangis..? Tanya saya.
"Ibu kalau dengar suara orang takbiran gak kuat. Pengen nangis aja." Jawab Ibu.
Ibu saya mualaf dan menangis saat mendengar suara orang takbiran. Sementara, saya yang sejak lahir di dunia di-adzan-kan oleh almarhum Bapak, biasa-biasa aja. Saya gak kepengin nangis, malah tertawa-tawa gembira ikutan takbiran bareng teman-teman sambil membawa obor keliling kampung Ciputat. Tapi kini, setelah berkeluarga dan Ibu sudah tiada, saat malam takbiran, saya tak kuasa menahan air mata. Saya ingat Ibu dan Bapak.

Ibu saya mualaf. Sebaliknya, Budhe saya, kakak dari Almarhum Bapak, adalah seorang Katolik dan masuk kesusteran. Entah, siapa yang lebih dahulu; Ibu menjadi mualaf atau Budhe menjadi Katolik. Saya merasa gak pantas menanyakan hal itu. Almarhum Bapak lahir dari keluarga muslim. Rumah almarhum Simbah Kakung di Purworejo, dulu ada kamar yang digunakan untuk gudang penyimpanan kurung batang, meja kursi dan perabotan lainnya yang biasa dipakai untuk tahlilan maupun hajatan. Jika menginap di rumah tersebut, kami para cucu biasanya tidur di kamar yang bersebelahan dengan gudang berisi kurung batang. Sampai menjelang subuh mata saya tak bisa terpejam. Saya takut kurung batang itu terbang dan membawa kami pergi menghilang. Yaah, namanya juga anak-anak, paling gampang kemakan cerita orang-orang.

Pertama kali bertemu Budhe Suster, saya dan adik, menangis histeris karena mengira Budhe Suster adalah suster rumah sakit yang akan menyuntik kami. Tangis kami terhenti setelah Budhe Suster mengeluarkan bingkisan berisi mainan. Sejak saat itu, kami selalu menunggu kedatangan Budhe Suster dan bingkisan berisi mainan baru. Setiap kali liburan sekolah, Budhe Suster selalu datang ke rumah. Semakin besar usia kami, isi bingkisan berubah dari mainan menjadi buku bacaan dan peralatan menjahit serta menyulam. Secara tak langsung, Budhe Suster membuka wawasan kami dengan mainan-mainan mahal dan modern yang kami terima yang belum tentu anak-anak di kampung kami punya. Budhe Suster memberikan buku bacaan dan komik yang bermutu tentang petruk gareng hingga gundala, sri asih, si buta dari gua hantu dan kisah Mahabharata. Lebih dari itu, Budhe Suster, almarhumah Ibu dan almarhum Bapak, mengajarkan kami tentang cinta dan kasih sayang tanpa harus mempertanyakan apa agamamu. "Nanti kamu juga tahu sendiri," begitu selalu ujar almarhumah Ibu setiap kali melihat ada semburat carut marut di wajah saya setiap kali berpikir tentang sesuatu. 

Begitulah, toleransi beragama bagi saya tak perlu diteriakan bagai slogan. Cukup dijalankan saja. Syukuri perbedaan dan nikmati keindahannya. Selamat Natal Budhe Suster dan saudara serta teman yang merayakan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun