Pernahkah kita berbohong? Rasanya sulit menjawab "tidak" sebab mengatakan bahwa kita tidak pernah berbohong pun adalah sebuah kebohongan---meskipun untuk alasan tertentu. Secara sederhana, berbohong adalah tindakan sengaja mengatakan sesuatu yang salah, sementara secara umum, berbohong merupakan rekayasa penghilangan atau distorsi kebenaran. Â
Seorang Psikolog yang juga merupakan pakar kebohongan dan psikolog paling berpengaruh di abad ke-21, dr. Paul Ekman, mengatakan bahwa orang-orang yang berbohong umumnya karena memiliki alasan untuk menghindari konsekuensi dari tindakan mereka, termasuk menghindari hukuman, konflik, atau penolakan.Â
Sementara alasan lainnya berdasarkan kutipan dari SEA Conselling Center 2019, orang-orang yang berbohong memiliki berbagai alasan, di antaranya adalah untuk mendapatkan sesuatu yang biasanya tidak mereka dapatkan, yaitu untuk melindungi diri sendiri, untuk melindungi orang-orang tersayang agar terhindar dari bahaya, untuk menjaga perasaan orang lain, untuk menghindari rasa malu, atau untuk melindungi citra diri dan ego--sebagian alasan mungkin terdengar humanis sebab bisa saja diartikan bahwa kita boleh melakukan kebohongan atas dasar tersebut.Â
Meski demikian, berbohong bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kebohongan bukanlah sebuah perkara sepele. Kebohongan yang mungkin sering kita lakukan, apapun kebohongannya, bahkan dengan niatan baik sekalipun, ternyata mempunyai efek jangka panjang yang justru dapat memiliki pengaruh negatif terhadap otak kita.
Salah satu bagian otak, yaitu Amygdala, akan bereaksi dan memroses emosi dari kebohongan sehingga menghasilkan jumlah sinyal otak yang banyak: Makin sering berbohong, makin besar reaksi yang muncul pada otak.Â
Itu artinya, otak kita beradaptasi terhadap kebohongan dan kejahatan yang kita lakukan.
Kita yang pertama kali melakukan kebohongan akan mengalami ketakutan, ketegangan, dan perasaan bersalah.Â
Namun, ketika melakukannya lagi, otak kita menjadi beradaptasi dan reaksi di Amygdala akan berkurang sehingga ketegangan dan rasa bersalah yang muncul tidak akan sebesar saat pertama kali kita melakukan kebohongan---makin sering berbohong, makin biasa-biasa saja.
Berubahnya cara kerja Amygdala ketika berbohong yang dilakukan secara terus-menerus mungkin tidak seekstrem dan sememalukan seperti memanjangnya hidung pada cerita anak "Pinokio". Namun, efeknya jauh lebih mengerikan terhadap masa depan kehidupan seseorang, bahkan terhadap kehidupan masyarakat luas.Â