Mohon tunggu...
shiroyura
shiroyura Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Urbanisasi terhadap Peningkatan Kawasan Kumuh

14 Desember 2017   11:09 Diperbarui: 14 Desember 2017   11:27 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah permukiman kumuh hingga saat ini masih menjadi masalah utama yang yang dihadapi di kawasan permukiman perkotaan. Tingginya arus urbanisasi akibat menumpuknya sumber mata pencaharian di kawasan perkotaan menjadi magnet yang cukup kuat bagi masyarakat perdesaan (terutama golongan MBR) untuk bekerja di kawasan perkotaan dan tinggal di lahanlahan ilegal yang mendekati pusat kota, hingga akhirnya menciptakan lingkungan permukiman kumuh. Di sisi lain, belum terpenuhinya standar pelayanan minimal (SPM) perkotaan pada beberapa kawasan permukiman yang berada di lahan legal pun pada akhirnya juga bermuara pada terciptanya permukiman kumuh di kawasan perkotaaan.

Bermukim di kawasan kumuh perkotaan bukan merupakan pilihan melainkan suatu keterpaksaan bagi kaum MBR yang harus menerima keadaan lingkungan permukiman yang tidak layak dan berada dibawah standar pelayanan minimal seperti rendahnya mutu pelayanan air minum, drainase, limbah, sampah serta masalah-masalah lain seperti kepadatan dan ketidakteraturan bangunan yang lebih lanjut berimplikasi pada meningkatnya bahaya kebakaran maupun dampak sosial seperti tingkat kriminal yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu

Pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh telah diamanatkan UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Selain itu, penanganan permukiman kumuh sudah secara jelas ditargetkan pada RPJMN 2015-2019, dimana target besarnya adalah terciptanya kota bebas kumuh di tahun 2019. Proses penanganan kumuh telah dimulai tahun 2015 dan target nol persen harus dicapai pada 2019, sehingga waktu penyelesaian tinggal 4 (empat) tahun dengan ragam persoalan yang belum sepenuhnya terdeteksi. 

Langkah awal dalam mengejar target kota bebas kumuh 2019 sebenarnya telah dimulai oleh Kementerian Pekerjaam Umum melalui Ditjen Cipta Karya sejak tahun 2014 dengan menyusun road map penanganan kumuh serta pemutakhiran data kumuh yang dilaksanakan secara kolaboratif dengan kementerian/lembaga yang terkait serta pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Tahapan penanganan kawasan kumuh berdasarkan UU No.1/2011 mengamanatkan agar pemerintah kota/kabupaten menyusun Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP), serta menyusun Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP), sebagai instrumen utama dalam upaya penanganan permasalahan permukiman kumuh di kawasan perkotaan.

Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman, Ditjen Cipta Karya melalui Subdit Perencanaan Teknis memberikan fasilitasi berupa pendampingan dalam penyusunan RP2KPKP sebagaimana dimaksud di Kabupaten/Kota sebagai sebagai bentuk pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun rencana penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kotanya masing-masing dengan harapan:

1.Terciptanya percepatan penanganan permukiman kumuh secara menyeluruh dan tuntas bagi kawasan kumuh yang telah disepakati dalam SK Walikota/Bupati;

2.Terciptanya keterpaduan program yang dapat menyelesaikan dan/atau menuntaskan permasalahan permukiman kumuh perkotaan melalui semua peran sektor keciptakaryaan melalui kegiatan reguler sektoral;

3.Meningkatnya kapasitas pemerintah Kabupaten/Kota melalui pelibatan aktif dalam proses penanganan permukiman kumuh bersama kelompok swadaya masyarakat (KSM/CBO's)

Terciptanya keberlanjutan progam penanganan permukiman kumuh sebagai bagian dari strategi pengurangan luasan kawasan permukiman kumuh. Dalam penanganan nya ini sendiri akan di butuhkan kerjasama antar berbagai stakeholder dari instansi pemerintah hingga ke masyarakat. Oleh karna itu dalam mengurangi luasan kawasan permukiman kumuh ini sendiri di butuhkan kesadaran dari seluruh pihak.

Keterlibatan masyarakat merupakan hal vital walaupun saat ini seorang planner memiliki sebuah ide berdasarkan analisis yang tepat. Tetap di perlukan nya masukkan dari masyarakat sekitar di karnakan yang membutuhkan bantuan itu adalah mereka sendiri. Satu suara dari masyarakat mungkin akan berbeda dengan hasil yang di dapatkan dari berbagai analisis namun suara dari masyarakat ini sendiri mungkin akan lebih baik untuk di gunakan. Hal ini disebabkan masyarakat lah yang lebih mengetahui apa yang di butuhkan mereka. tentunya kita juga harus menilai secara rasional pendapat yang di berikan oleh masyarakat. Bisa saja masukkan ini hanya bersifat berdasarkan egoisitas maka hal ini merupakan pendapat yang salah. Dalam membuat keputusan planner harus dapat membuat keputusan yang bersifat win to win solution.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun