Mohon tunggu...
Shinta Nur
Shinta Nur Mohon Tunggu... Mahasiswa

suka tidur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Matematika Bukan Sekedar Angka: Mengapa Aspek Afektif Siswa Sangat Penting?

29 September 2025   09:05 Diperbarui: 29 September 2025   09:47 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi banyak siswa, matematika sering dianggap sebagai momok yang menakutkan. Rumus-rumus yang rumit, soal cerita yang penuh jebakan, hingga rasa takut salah di depan kelas membuat sebagian siswa kehilangan semangat. Namun, penelitian dan observasi terbaru di salah satu SMA Negeri Semarang menunjukkan bahwa keberhasilan belajar matematika tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitif, tetapi juga oleh aspek afektif yakni emosi, motivasi, dan sikap siswa selama proses belajar.

Ketika Rasa Takut Menghalangi Belajar

Hasil observasi di kelas XI F7 SMA Negeri 12 Semarang menemukan bahwa banyak siswa awalnya enggan mengangkat tangan atau maju ke depan kelas. Alasannya sederhana: takut salah dan dipermalukan di depan teman. Rasa cemas ini ternyata bisa menghambat konsentrasi, mengurangi daya ingat, bahkan menurunkan kemampuan problem-solving. Dengan kata lain, rasa takut lebih berperan daripada ketidakmampuan siswa memahami materi.

Nah, bagaimana peran guru dalam menumbuhkan percaya diri di kelas?
Hal ini menarik, suasana kelas berubah ketika guru mengadopsi pendekatan humanis: tidak mempermalukan siswa ketika salah, selalu memberi apresiasi, serta berbagi pengalaman pribadinya saat dulu juga kesulitan belajar matematika hingga akhirnya bisa menjadi guru matematika. Hasilnya? Siswa yang aktif awalnya hanya sedikit berkembang menjadi beberapa siswa yang lebih berani, bahkan ada yang berani membenarkan kesalahan penulisan guru di papan tulis. Dari sini terlihat bahwa pendekatan humanis yang dilakukan oleh guru matematika memperkuat relasi antar guru dan siswa serta dukungan emosional dari guru sehingga siswa mampu meningkatkan rasa percaya diri dan tidak takut salah.

Strategi ini sejalan dengan teori Humanistik Carl Rogers, yang menekankan bahwa siswa akan berkembang secara optimal ketika merasa diterima, dihargai, dan mendapat lingkungan belajar yang mendukung (Firstisya, Jannah, & Gusmaneli, 2025).

Motivasi: Intrinsik vs. Ekstrinsik

Motivasi siswa ternyata beragam. Ada yang didorong rasa penasaran dan kesukaan pada matematika (motivasi intrinsik), namun ada juga yang sangat dipengaruhi suasana kelas, cara mengajar guru, atau bahkan kondisi fisiknya (motivasi ekstrinsik). Masalah muncul ketika motivasi ekstrinsik ini tidak terpenuhi: siswa mudah kehilangan semangat dan cepat menyerah. Artinya, penting bagi guru untuk menjaga keseimbangan, memberikan ruang bagi siswa yang termotivasi dari dalam dirinya sekaligus menciptakan lingkungan belajar yang mendukung bagi mereka yang butuh dorongan dari luar.

Observasi siswa di kelas XI F7 (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Observasi siswa di kelas XI F7 (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Lingkungan Belajar yang Kondusif

Selain peran guru, suasana kelas juga sangat menentukan. Lingkungan yang ramah, bebas dari tekanan, serta memberi ruang untuk salah ternyata bisa mengubah dinamika belajar. Siswa yang awalnya pasif menjadi lebih aktif, sementara mereka yang sudah berani tampil semakin berkembang. Sebaliknya, ketika suasana kaku atau guru dianggap “killer”, semangat belajar siswa pun merosot tajam.

Belajar dengan Hati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun